"Ciehhhh, yang udah baikan!"
Rizky dan Irena yang baru saja masuk ke dalam kelas kaget karena pekikan Ambar seketika mengelus dada.
"Nggak berisik deh, Ambar! Lagipula, kapan gue sama Rizky berantem?", ujar Irena melirik Rizky dengan cengiran khasnya. Rizky hanya memutar bola matanya, lalu melanjutkan langkah dan duduk bersama Bondan.
"Yee, dasar Rizky, saudaranya si bunglon ternyata!", celetuk Irena pelan lalu duduk didepan Ambar.
Ambar nampak memandang sekitar, lalu mencondongkan sedikit tubuhnya. "Na, gue mau ngasih tau sesuatu sama lo," ucap Ambar sangat pelan.
Sebelah alis Irena nampak terangkat. "Apaan?" Suara Irena ikut-ikutan memelan.
"Gue baru tau..." Ucapan Ambar menggantung begitu saja di udara, menghadirkan rasa penasaran itu dihati Irena.
"Aih, lo tau apaan?", tanya Irena geregetan.
"Gue baru tau...hari ini hari...Selasa!", ujar Ambar dengan wajah tanpa dosa, Irena menggeram kesal.
"Kalau nenggelemin lo nggak dosa, bakalan gue lakuin dengan senang hati," seloroh Irena sebal.
Ambar terkekeh, tapi wajahnya kembali berubah serius. "Maaf. Tapi beneran, gue ada hal penting yang harus gue kasih tau ke lo, soal Putri dan Jennessa."
"Putri? Jennessa?", tanya Irena ragu.
Kepala Ambar mengangguk tegas. "Iya. Kemarin gue ketemu Putri, terus gue liat pipinya luka. Eh, kemarin juga Zavier kasih tau gue, pipi Jennessa ternyata juga mereka. Asumsi gue nih yah, mereka pasti abis berantem."
Irena berusaha mencerna penjelasan Ambar dengan saksama. Ada kejanggalan dari cerita gadis manis itu.
"Kok gue ngerasa ada yang aneh, yah?", gumam Irena, tapi masih dapat didengar oleh Ambar.
Kening Ambar berkerut. "Aneh gimana?"
Kedua pundak Irena mengendik. "Entahlah, gue nggak ngerti. Pokoknya kayak ada yang janggal aja, gitu."
Ambar hanya ikut mengendikkan bahu. Ia jadi ikut-ikutan memikirkan masalah ini, padahal sedari awal fokusnya hanya untuk membuat persahabatan Rizky dan Irena kembali membaik.
*****
Irena berjalan santai memasuki toilet. Setelah berolahraga Irena berniat mengganti baju, sebab suhu tubuhnya meningkat drastis. Rasa panas ditubuhnya membuat Irena merasa sangat tidak nyaman.
"Eh?"
Langkah Irena terhenti sejenak, kala netranya menangkap sosok tak asing tengah berdiri sembari menatap pantulan dirinya dicermin.
Jennessa.
Jennessa yang sadar jika dirinya sedang diperhatikan seseorang menoleh secepat kilat. Matanya menatap Irena dengan tajam, tatapan membunuh.
"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?", cerca Jennessa dingin.
Irena mendengus. "Lo kenapa marah sama gue? Marah kejahatan lo udah kebongkar beberapa hari yang lalu?" Jennessa malah terdiam, hingga Irena kembali melanjutkan ucapannya. "Harusnya gue yang marah sama lo, Jen. Lo jahatin gue, padahal gue nggak pernah ada niat buruk sama lo."
"Diam lo!" Jennessa maju selangkah. "Lo nggak bakalan ngerti gimana jadi gue, Na! Lo nggak tau gimana rasanya mencintai seseorang sampai lo ada dibatas titik yang buat lo frustasi, dan makin gila buat dapatin dia!"
Irena berdecak pelan. "Jennessa, lo lupa kalo gue dan lo mencintai orang yang sama?" Jennessa nampak diam mematung. "Gue juga suka sama Rizky, jauh sebelum lo suka sama dia. Harusnya, gue yang ngomong kayak gitu ke lo. Lo nggak ngerasain gimana nyeseknya gue mencintai dia selama bertahun tahun. Tapi, gue nggak ambil pusing. Karena gue tau, dia juga berhak mencintai yang lain. Dan gue juga nggak menuntut dia membalas perasaan gue."
Jennessa nampak menggigit bibir bawahnya. Pandangannya memburam. Sepertinya, ia sudah kalah telak sekarang. Ia terlambat menyadari, bahwa pastinya hati Irena jauh lebih sakit ketimbang dirinya.
"Kenapa lo nangis, Jen?", tanya Irena pelan.
"Ternyata gue udah berbuat kesalahan yang fatal, Na. Gue membuat Rizky benci sama lo, bukan cuma sama lo, dia juga benci fakta tentang lo yang suka sama dia. Gue tega nyakitin lo, padahal selama ini lo nggak ada salah sama gue. Harusnya gue nggak pernah menyakiti hati yang sedang mencintai, bahkan perjuangan lo buat Rizky gagal, bahkan sebelum semuanya dimulai."
Irena tertawa renyah. "Gue nggak memperjuangan Rizky, Jen. Sekarang, gue cuma fokus buat jadi sahabat yang baik buat dia. Gue sadar, sampai kapanpun dia nggak akan jadi milik gue, dia berhak memilih yang lain. Dia bahagia, gue bakalan lebih bahagia."
Tatapan Jennessa benar benar menunjukkan jika ia terlampau takjub dengan kedewasaan Irena. "Na, lo tau? Lo salah satu orang yang memandang cinta dengan begitu tulus, selain Zavier."
Irena tersenyum sangat tipis. Gadis itu nampak menghembuskan napas panjang. "Jadi sekarang lo ngerti 'kan apa yang harus lo lakuin?"
Jennessa mengangguk pelan. "Iya, Na. Makasih, hari ini lo memberi pelajaran tentang makna mencintai sesungguhnya ke gue."
Dengan sisa tangisnya, Jennessa memeluk Irena dan mengucapkan banyak terima kasih pada gadis yang sudah ia perlakukan dengan jahat itu. Disela ucapan terima kasihnya, Jennessa membisikkan sesuatu pada Irena, yang sukses membuat tubuh gadis itu menegang.
*****
Rasanya, kepala Irena hampir meledak. Ucapan Jennessa di toilet tadi membuatnya bingung sekaligus khawatir .
"Apa iya omongan Jennessa itu benar?"
Ada begitu banyak keraguan yang tersimpan dalam benak Irena. Membayangkannya saja, itu terasa sulit.
Ditambah lagi, ucapan Jennessa yang sedikit menggantung itu sukses membuat Irena penasaran. Dan besok, Jennessa berjanji akan memberitahunya secara lebih rinci.
"Tolong, Na, jaga Rizky baik baik."
Perkataan Jennessa yang stau itu, selalu menghadirkan rasa takut pada Irena. Memangnya, siapa yang akan melukai Rizky?
"Irena..."
Irena terkesiap mendapati Rizky sudah duduk di sebelahnya. Pemuda itu menyodorkan sebotol air mineral dingin kepadanya. "Makasih, Ky." Kepala Rizky hanya mengangguk sebagai balasan atas ucapan terima kasih Irena.
"Ky..." Irena memanggil dengan nada serius, Rizky seketika membalikkan tubuhnya kearah gadis itu. "Gue mohon sama lo, lo bisa jaga diri lo baik baik."
Dahi Rizky mengerut dalam, sedikit curiga. Irena benar benar aneh. "Ya pastilah gue bakalan jaga diri gue baik baik. Lo ngomong gitu kayak mau pergi jauh aja dari gue."
"Kenapa emangnya kalo gue pergi jauh dari lo?" Entah mengapa Irena sedikit terpancing dengan pembahasan ini.
Rizky menatap Irena lekat. "Gue mau, lo menjadi saksi atas perubahan dalam diri gue. Sekarang gue mau kembali pada kodrat gue, Na, mencintai orang yang tepat. Sekarang aja gue udah sering konsul ke.psikolog."
Irena? Jangan tanya bagaimana senangnya gadis itu sekarang. "Beneran, Ky? Sejak kapan lo konsul?"
"Hm, sejak seminggu yang lalu."
Kesenangan Irena benar-benar bertambah. Dia, merasa bahagia karena ini. Ia bersyukur karena pemberitahuan ini.
Irena melirik Rizky sekilas, nampak pemuda itu tak lagi dingin seperti dulu. Sekarang pemuda itu sudah sering mengumbar senyuman. Ah, Irena berharap Rizky terus seperti ini.
"Ky, sekalipun benar gue bakalan pergi jauh, jangan berubah, yah! Jadilah Rizky yang berbahagia setiap waktu, temuin cinta sejati lo."
Dengan cepat Irena mengusap cepat air matanya. Lalu memasang wajah ceria seperti sebelumnya.
*****
Hai, terima kasih sudah mampir dan membaca kisah Rizky dan Irena
Jangan lupa vote dan komentarnya
Salam hangat,
Dhelsaarora
KAMU SEDANG MEMBACA
Rizky & Irena
Teen FictionYang Irena tahu, setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Dan, kesempatan berubah itu tidak hanya berlaku bagi orang-orang tertentu, perubahan bisa terjadi pada semua orang, termasuk sahabat masa kecilnya Rizk...