35. Bukti

97 7 15
                                    

Rizky hanya duduk diam di teras rumahnya. Malam ini pikirannya melayang pada Irena.

Semua hal tentang gadis itu, berputar layaknya kaset rusak di dalam kepalanya.

Kenangan masa kecil bersama Irena, bagaimana gadis itu melindunginya, bagaimana gadis itu selalu bisa memancingnya untuk berbicara banyak, bagaimana gadis itu membuatnya kesal, dan segala hal yang dilakukan gadis itu mengiang-ngiang dipikiran Rizky.

Beberapa hari ini emosi Rizky dipermainkan, dan ia berpikir Irena adalah pelaku utamanya. Ya, memang benar, Rizky merasa tak bersalah sama sekali. Dia bahkan berpikir tindakannya ini memang pantas diberikan pada Irena.

Menjadi sahabat Irena sudah dimasukkan dalam bentuk penyesalan didalam kehidupan Rizky. Hidupnya hampir saja dihancurkan oleh gadis yang dilabelinya sahabat sejak berumur 5 tahun.

Pandangan Rizky tertuju pada jendela kamar Irena yang tertutup rapat. Terlihat jelas jika tak ada satupun lampu yang menyala didalam rumah Irena, semuanya terlihat gelap.

Ada terbesit sedikit rasa khawatir dalam diri Rizky yang membuatnya ingin menghampiri Irena saat ini juga.

Setelahnya, Rizky malah menggelengkan kepala, mengenyahkan pemikiran itu jauh-jauh. "Buat apa liatin dia? Dia juga nggak pernah mikir saat dia ngancurin gue." Rizky berkata dengan nada dingin.

Tapi yang namanya hati tidak bisa dihubungi. Rizky memang tak ingin lagi berurusan dengan Irena, tapi hatinya tergerak untuk terus memandangi rumah gadis itu.

Ia merasa rindu untuk berinteraksi dengan Irena, rindu saat gadis itu berhasil membuatnya mengomel.

Rizky mengacak rambutnya, setelahnya pemuda itu memasuki rumahnya.

*****

Putri tersenyum tipis saat Jennessa dan Zavier berpapasan dengannya di koridor.

"Hai, kalian! Gimana? Masih gelisah karena kejahatan kalian kebongkar?" Putri berkata dengan nada mengejek. Sebelah alisnya terangkat, memandangi wajah Jennessa dan Zavier secara bergantian.

Jennessa nampak geram, sedangkan Zavier nampak, sedih? Putri mengerutkan kening, ada apa lagi dengan pemuda satu itu?

"Hmm, gini amat yah kalau terlalu sayang sama seseorang, sekalipun salah, demi orang yang disayang rela ngelakuin apa aja, menghalalkan segala cara. Miris."

Putri nampak membisikkan sesuatu pada Zavier. "Cinta lo sama Jennessa, berhasil buat lo buta. Lo buta soal mana yang benar dan salah. Gue nggak bego, Zavi. Mata lo nunjukin hal yang jelas banget, lo sayang sama sahabat lo yang nggam waras itu." Putri tersenyum manis, lalu menepuk pelan pundak Zavier. Gadis itu pun akhirnya pergi.

Jennessa memandang Zavier. "Dia ngomong apa ke lo?!"

Zavier menggelengkan kepala. "Biasa, ngancem doang."

Jennessa menggigit jarinya. "Pokoknya lo harus ambil buktinya dari Putri, jangan sampai Rizky tau soal ini. Gue nggak mau tau, gimanapun caranya, lo harus bisa singkirin bukti itu. Karena kalo nggak, jangan harap lo bisa liat gue lagi!"

*****

"Ambar, Bondan!"

Putri segera berlari kearah Bondan dan Ambar yang sudah duduk dan menunggunya lebih dulu saat di kantin.

"Eh, Put, duduk dulu!" Ambar menarik pelan tangan Putri agar bisa duduk disebelahnya.

"Emangnya urgent banget sampai lo minta gue sama Ambar nungguin lo disini?", tanya Bondan penasaran.

Putri nampak menoleh kiri-kanan, mengecek sekitar apakah ada orang lain atau tidak. Untungnya, tak ada orang selain mereka disana.

"Ini penting, ini soal Rizky dan Irena," jelas Putri dengan suara pelan.

Ambar nampak membulatkan mata. "Rizky dan Irena?"

"Iya. Mereka bertengkar karena ada yang adu domba," jawab Ambar.

"Serius lo, Put? Siapa yang tega ngelakuin itu semua?"

"Gue nggak bisa jelasin itu, gue kirim buktinya lewat grup WA. Tapi gue minta tolong sama lo Ambar, keluarin kontak Irena sama Rizky dari grup WA."

Ambar langsung mengangguki. Ia segera mengeluarkan nomor WA Rizky dan Irena dari grup. "Udah, Put!"

"Oke, sekarang gue kirim buktinya."

Jemari Putri bergerak lincah pada layar ponselnya. Ia akan merasa lega saat bukti itu bisa dilihat oleh Bondan dan Ambar.

"Lo berdua bisa liat rekaman videonya."

Ambar dan Bondan nampak memandangi layar ponsel mereka dengan sangat serius.

"Astaga .." Ambar bergumam sembari menutup mulutnya sendiri.

Reaksi Bondan tak jauh berbeda, bahkan pemuda itu sudah nampak emosi. Ia mematikan ponselnya dengan segera. "Brengsek! Zavier dan Jennessa benar-benar keterlaluan! Irena yang nggak tau apa-apa kena imbas karena perbuatan mereka! Nggak bisa gue biarin, gue nggak terima!"

"Sama Bon, gue nggak terima! Pokoknya Rizky harus tau soal ini! Jennesa dan Zavier kerja sama buat hancurin persahabatan Rizky dan Irena."

"Sabar dulu Bondan, Ambar. Jangan ambil tindakan kalau kondisi kalian lagi emosi kayak gini. Nanti Jennessa dan Zavier bisa ngancurin semuanya. Mereka berdua, yang ngirim video dan pesan yang ngejatuhin Irena biar Rizky benci sama Irena."

Kedua tangan Bondan terkepal. "Terus sekarang kita harus gimana?! Apa kita harus pura-pura bodoh seolah nggak tau kebenaran ini?!"

"Iya, ini adalah langkah yang paling aman sekarang. Tapi kalian tenang aja, gue udah punya rencana buat ngungkap kejahatan mereka didepan semua orang."

"Gimana?!", tanya Ambar dan Irena kompak.

"Hm, kalian liat aja nanti!", ujar Putri dengan nada misterius.

*****

Irena nampak berdiri dipinggir lapangan. Pandangannya tertuju kepada Rizky.

Senyum getirnya mengembang. Matanya berkaca-kaca kala melihat Rizky berlari keliling lapangan. Ia ingat betul saat kecil Rizky sangat senang bermain kejar-kejarang dengannya dan Tommy.

"Ky...," panggil Irena dengan suara sangat pelan. "Gue kangen sama lo...lo kapan baik lagi sama gue?"

Dengan perasaan berkecamuk, Irena duduk dipinggir lapangan. Ia hanya menyaksikan teman sekelasnya yang tengah sibuk berkeliling lapangan.

Duk!

"Aduh!"

Irena memekik kesakitan saat bola volly itu mengenai kepalanya. Teman sekelasnya mendadak panik, termasuk Rizky.

Bahkan, pemuda itu sudah berlari dan menghampiri Irena. "Mana yang sakit?!", tanyanya sembari berjongkok dihadapan Irena. Tangannya sibuk mengusap kening Irena dengan sangat lembut.

Mata Irena makin berkaca-kaca. Rizky rupanya masih peduli kepadanya. Tapi disaat itu pulalah kata-kata Rizky yang telah menyakiti hatinya ikut mengiang dalam pikirannya.

Perkataan Rizky yang menyatakan bahwa mereka tak lagi menjadi sahabat.

Dengan gerakan cepat Irena bangkit dari duduknya, dan berlari menjauh dari lapangan. Rizky yang melihatnya hanya bisa diam dan memandangi tubuh mungil Irena menghilang ditelan jarak.

Kedua mata Rizky memejam. Ada apa dengannya? Sikap pedulinya pada Irena bangkit begitu saja. Dan juga, ia tidak terima saat gadis itu berlari menjauh darinya.

Sebenarnya situasi apa yang dihadapinya kini? Mengapa semakin lama, pikirannya terus tertuju pada Irena? Mengapa ia ingin terus memandangi gadis itu? Mengapa ia tak ingin jauh dari gadis itu, disaat situasi buruk yang telah berhasil memporak-porandakan persahabatan mereka?

*****

Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Rizky dan Irena

Jangan lupa vote dan komentarnya

Salam hangat,
Dhelsaarora

Rizky & IrenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang