Irena terduduk dengan perasaan berkecamuk. Sama sekali tak pernah terlintas dalam bayangannya jika ia berakhir duduk di kantor polisi. Itupun, bukan sepenuhnya atas karena kesalahan yang ia perbuat.
"Pak, saya tidak berniat mencelakai Tommy. Dia sahabat saya," ujar Irena berusaha membela diri.
Polisi yang menginterogasi Irena menatap tegas gadis itu. Setelahnya ia memperlihatkan sesuatu dari layar laptop kearah Irena. "Kamu bisa jelaskan apa yang terjadi di dalam rekaman video ini?"
Kening Irena berkerut dalam, setelahnya matanya beralih menatap video yang terpampang pada layar laptop di hadapannya.
Di video itu nampak Irena yang memapah tubuh Tommy, setelahnya Irena terlihat mencabut pisau yang tertancap pada tubuh Tommy. Kepala Irena menggeleng, ini salah paham. "Memang benar pak saya bersama Tommy, tapi saya cuma bantu cabut pisau karena Tommy yang minta dalam keadaan setengah sadar. Tapi bukan saya yang tikam Tommy."
Polisi itu menghembuskan napas pendek. "Bukti ini sudah cukup jelas untuk menjerat kamu dan akan dikenai hukuman sesuai aturan yang berlaku."
"Tidak, saya tidak bersalah!" Irena menjerit histeris kala dua orang polisi langsung membawanya masuk kedalam sel tahanan.
Pembelaan dirinya tak ada satupun yang mau mendengarkan. Ternyata satu bukti itu cukup menjebloskannya kedalam penjara.
"PAK, SAYA MOHON!!! BIARKAN SAYA MENCARI BARANG BUKTI, SAYA MAU BUKTIIN KALAU SAYA NGGAK BERSALAH!!!"
Irena memberontak, hingga tubuhnya terhuyung masuk ke dalam sel tahanan. Pintu sel ditutup oleh petugas kepolisian. Hingga suara tangis Irena makin meraung-raung. Jelas saja perbuatan Irena itu tidak luput dari pandangan salah seorang tahanan wanita yang kini tersenyum sinis.
"Ngapain juga lo ngeronta-ronta minta dilepasin? Nggak terima kalau sekarang lo udah jadi narapidana?"
Masih dengan tangisannya, Irena memutar tubuhnya menghadap tahanan wanita yang tengah berbicara padanya itu. Irena memilih bungkam.
"Kejahatan apa yang lo lakuin sampai lo masuk kesini? Hmm coba gue tebak, kayaknya lo habis bunuh orang," ucapannya enteng. Irena yang mendengar serentetan kalimat itu seketika mengusap kasar air matanya. Pandangannya menajam. "Jangan pernah ngomongin sesuatu yang nggak lo tau kebenarannya! Gue nggak pernah bunuh orang!"
Wanita yang berumur sekitar 20-an tahun itu tertawa keras. "Kalau penjahat ngaku, penjara penuh. Lo liat aja penampilan lo, baju lo bahkan ada bercak darahnya!"
Irena berdecih. "Apa semua orang di dunia ini cuma bisa mandang sesuatu dari satu sisi? Bukan berarti baju gue ada darahnya gue buat bunuh orang, bukan berarti cuma ada satu bukti gue dituduh jadi pembunuh!"
Kembali, tangis Irena pecah. Punggung rapuhnya bersandar pada dinding penjara, perlahan merosot seolah hilang tenaga. Wanita yang melihat Irena hanya bisa tersenyum miris.
"Yaudahlah, terima aja lo berakhir disini!"
Irena memandang kearah luar sel tahanan. Tak ada satupun yang datang menemuinya. Kenapa? Apa benar mereka yang ia percaya sudah memberi label 'narapidana' kepadanya sebelum kebenarannya terungkap? Ataukah mereka terlalu pesimis jika Irena bisa mengumpulkan bukti?
Irena memukul pintu sel dengan membabi buta. Benar, ia akan berakhir di penjara. Berakhir sendirian didalam sana.
*****
Orang tua Tommy menangis kala Tommy tengah dirawat oleh dokter. Mereka sama sekali tak menyangka jika putra mereka akhirnya masuk rumah sakit seperti ini. Bahkan, Rafly dan Rima, orang tua Rizky juga ada disana.
"Aku tidak menyangka, Rima, Irena tega mencelakai anakku Tommy...." Lyra, Ibu Tommy berujar dengan nada kecewa. Rima hanya bisa terdiam sembari mengusap pundak sahabatnya itu.
Yura sudah menceritakan semuanya pada Lyra dan Guntoro, orang tua Tommy. Mulai dari kronologi awal Tommy berada di rumah sakit, hingga berakhir dengan Irena yang diseret oleh pihak berwajib ke kantor polisi.
Rizky menggelengkan kepalanya. Ia yakin Irena tak bersalah. Ia tidak terima jika Irena dituduh telah mencelakai Tommy.
Ini pasti sudah direncanakan. Selain menunggu Tommy siuman dari masa kritisnya, Rizky butuh mencari bukti. Hanya itu yang dapat dilakukannya agar Irena bisa bebas dari tuduhan.
"Ky..." Putri menepuk pundak Rizky, yang seketika membuat pemuda itu risih. "Gue tau pikiran lo lagi kalut sekarang. Dua sahabat lo lagi dalam masalah. Tommy berjuang melawan maut, dan Irena sekarang di penjara karena terbukti nyelakain Tommy."
Rizky menatap Putri marah. "Terbukti nyelakain Tommy?" Rizky mengulang perkataan Putri dengan nada geram. "Nggak usah sok paling tau! Selama bukti akurat belum ditunjukkan, jangan pernah bicara aneh-aneh, bahkan menuduh Irena macam macam!"
Rizky bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Rupanya tindakan Rizky itu tertangkap oleh pandangan Rafly, ayahnya. "Mau kemana kamu, Rizky?"
Rizky berbalik badan, memandangi sang ayah. "Mau keluar sebentar, mau cari udara segar."
*****
Irena melirik tahanan wanita yang sedari tadi mengoceh kepadanya. Ternyata ia juga belum terlelap, padahal malam sudah larut.
"Ngapain lo liat-liat gue? Ada pertanyaan?", tanyanya dengan nada mengejek.
Irena terdiam, lalu menganggukkan kepala. "Gue cuma mau tau, karena kasus apa lo bisa berakhir disini?"
Wanita itu nampak tertawa renyah. "Serius lo nanya itu?" Irena hanya menganggukkan kepala.
"Sebelumnya gue mau memperkenalkan diri. Nama gue Dara, umur 23 tahun, kalau nggak dipenjara gue udah jadi seorang karyawati kantoran dengan gaji yang banyak. Tapi yah, karena gue terjerat kasus kriminal, ngebunuh pacar gue yang semasa hidupnya cuma bertingkah brengsek, gue jadi narapidana dan ditahan disini."
Terkejut, Irena begitu tercengang mendengar cerita Dara yang disampaikan wanita itu dengan santai. Tanpa ada rasa bersalah, dan kesedihan, bahkan penyesalan didalamnya.
"Kaget?"
Irena mendekat kearah Dara, menatap wanita itu dengan wajah penasaran. "Kenapa lo bunuh pacar lo, kak? Padahal lo pasti cinta sama dia."
"Jadi sekarang manggil kak, nih? Oke. Soal itu, dia pernah ngehamilin gue, dan gue minta pertanggung jawaban, dong. Dia nggak mau tanggung jawab. Ya udah, gue gugurin kandungan gue. Habis itu, gue dapat kabar dia pacaran lagi sama cewek lain. Ya udah, dendam, gue samperin cowok gue dan gue bunuh dia."
Napas Irena memburu. Astaga! Wanita ini, begitu mudahnya mengatakan semua itu tanpa rasa menyesal?
Hingga, raut wajah Dara akhirnya berubah sendu. "Lo pasti heran kenapa gue nggak menunjukkan penyesalan. Menyesal juga nggak ada gunanya. Kalau dipikir-pikir, gue udah bunuh dua orang yang bisa dibilang dekat sama gue. Pertama, anak yang gue kandung, kedua, bapak dari anak yang gue kandung. Nggak menegang dosa gue udah segede apa sekarang. Gue berkata seolah-olah gue nggak menyesal, tapi itu sebenarnya cuma nutupin kalau gue merasa bersalah. Ini cuma tipuan."
Keduanya terdiam, berusaha memaknai situasi ini. "Gue belum tau nama lo, dek."
Irena terkesiap. Gadis itu tersenyum tipis. "Gue Irena, kak."
Dara nampak mengangguk paham. "Sekarang lo cerita, tentang lo dan gimana lo bisa berakhir disini? Gue beneran penasaran."
Irena menipiskan bibir. "Oke, gue bakalan ceritain tentang gue. Lo tolong dengerin gue baik-baik, kak."
Dara mengangkat jempol kanannya. "Siap."
Menghembuskan napas panjang, Irena mulai menceritakan tentang dirinya.
*****
Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Rizky dan Irena
Jangan lupa vote dan komentarnya
Salam hangat,
Dhelsaarora
KAMU SEDANG MEMBACA
Rizky & Irena
Novela JuvenilYang Irena tahu, setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Dan, kesempatan berubah itu tidak hanya berlaku bagi orang-orang tertentu, perubahan bisa terjadi pada semua orang, termasuk sahabat masa kecilnya Rizk...