47. Hari Mencari Fakta

79 7 2
                                    

Rizky memilih mengelilingi rumah sakit ditengah malam ini. Rasanya makin sesak saja jika ia terus memaksa untuk berada didalam. Pikirannya terpecah antara Tommy yang berusaha melewati masa kritis, dan Irena yang kini mendekam dalam jeruji besi.

Rizky mengusap wajahnya frustasi. Ia ingat bagaimana sedihnya Irena saat polisi membawanya. Rizky merutuki dirinya yang tidak bisa berbuat banyak agar bisa mencegah Irena pergi dari hadapannya.

Pengorbanannya bahkan tidak ada apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan Irena selama ini.

Satu persatu ingatan Rizky tentang Irena mulai bangkit. Dari masa kecil mereka memang sudah berteman dan bersahabat. Irena yang selalu membelanya, Irena yang selalu menenangkannya kala menangis, Irena yang menghiburnya kala bersedih, Irena yang memotivasinya agar semangat mengikuti perlombaan, dan Irena yang tak pernah lelah berkorban untuknya. Bahkan, gadis itu mencintai dan menyayanginya.

Harusnya, Irena tak mencintai orang sepertinya, bukan? Gadis itu pantas mendapatkan pemuda yang baik.
Tapi disisi lain, Rizky menyadari jika Irena telah tak ada disebelahnya, ia gelisah. Ia ingin memandangi gadis itu terus. Bahkan, Rizky baru sadar kala setiap kali memeluk Irena, perasaannya akan tenang, dan memunculkan rasa nyaman. Ditambah lagi kala melihat air mata gadis itu, hatinya mencelos sakit. Ada apa dengannya?

"Apa...." Rizky nampak berpikir keras. "Gue udah mulai suka sama Irena?", gumamnya pelan dengan mata membulat.

"Ya, lo bukan cuma suka, lo sayang banget sama dia."

Tubuh Rizky menegang, kala seseorang mengamini ucapannya. "Lo?"

Jennessa, gadis itu tersenyum lebar. Ia lalu duduk disebelah Rizky. "Nggak usah heran gue disini. Gue khawatir sama Tommy, dan gue juga masih sabar nungguin dia melewati masa kritisnya." Jennessa menjeda ucapannya. Gadis itu menatap Rizky lekat. "Gue pernah suka sama lo, Ky. Dan untungnya sekarang gue udah move on. Lo tau? Gue pernah marah ke Irena, karena ini ada hubungannya sama lo. Gue suka sama lo, dan gue marah ke Irena. Tapi lo tau respon dia gimana? Dia cuma bilang, urusan lo suka sama siapa itu hak lo. Dia juga bilang, dia suka sama lo jauh sebelum gue suka sama lo, dan dia nggak marah kalau lo suka sama orang lain. Dia ikhlas. Prinsip dia, dia cuma mau liat orang yang dia suka bahagia. Sesederhana itu cinta bagi Irena. Tapi gue nggak habis pikir, hatinya terlalu kuat buat berkorban banyak buat lo."

Ya, Rizky sadar.

Dia memang mencintai Irena.

Bukan psikolog yang berusaha mengembalikan dia menjadi pria yang normal, tapi Irena.

Bukan Tommy yang menjadi orang yang sepatutnya Rizky cinta dengan begitu dalamnya, tapi Irena.

Bukan gadis lain yang akan menemani Rizky dalam suka duka, melainkan Irena.

Hanya Irena.

Irena untuk Rizky, dan Rizky untuk Irena.

Selamanya akan seperti itu.

Senyum tulus Rizky terkembang lebar untuk pertama kalinya. Ia bahagia karena ia tahu perasaannya sudah jatuh kepada Irena.

"Ky, dan soal Irena, gue mau bantu cari bukti kalau dia nggak salah."

Mata Rizky berbinar kala Jennessa menawarkan bantuan agar bisa membebaskan Irena dari penjara. "Makasih, Jennessa."

"Iya, Ky. Gue mau bisa terus bantuin Irena. Dia salah satu orang yang paling ngerti gue selama ini. Gue juga yakin, dia dijebak."

"Kok lo bisa seyakin itu?"

Jennessa tersenyum miring. "Kenapa gue bisa seyakin itu? Karena tepat dimalam kejadian itu, gue sempat ngeliat Irena markir motor di dekat mini market, dan kebetulan malam itu gue nemenin sepupu gue belanja. Awalnya gue mau sapa Irena, tapi dianya udah keburu pergi."

"Oke, kita mulai darimana pencarian bukti ini?"

"Lo tunggu aja instruksi dari gue."

*****

Irena memperhatikan penampilannya. Ia sudah memakai baju tahanan. Miris memang, diusia semuda ini dia sudah merasakan dinginnya dinding penjara.

"Udahlah, Ren. Menyesali ini semua nggak bakalan buat lo bebas dari penjara ini," ucap Dara dengan nada pesimis.

"Bukan itu doang yang gue pikirin, kak. Gue berharap dia datang, setidaknya nunjukkin kalau dia percaya sama gue."

"Apa yang lagi lo tunggu, teman masa kecil lo yang lo suka itu? Siapa yah namanya? Gue lupa, padahal baru kemarin lo ceritain semuanya." Dara nampak menyengir, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Rizky, kak."

Dara menjentikkan jari. "Nah, iya, si Rizky!"

Nampak raut wajah Irena begitu jengah sekaligus lelah. Ia takut, Rizky tak percaya padanya, ia takut.

Menghela napas pasrah, Irena memilih duduk disebelah Dara yang memberinya tawa mengejek.

Ternyata berharap seperti ini lumayan menyiksa batin.

"Saudara Irena!"

Irena langsung bangkit dari duduknya dan menemui seorang petugas yang tadi memanggil namanya. "Ada apa yah, pak?"

"Ada seseorang yang ingin menemui anda," ujar petugas tersebut.

"Siapa, pak?"

Pertanyaan Irena bahkan belum dijawab hingga sosok yang ditunggunya telah ada dihadapannya. Ada Rizky yang tengah tersenyum padanya.

Setelahnya, petugas itu pamit dan membiarkan Rizky dan Irena bicara berdua.

"Ky...." Irena berujar lirih. "Gimana keadaan Tommy?"

Rizky tersenyum dengan sorot mata lembut. "Alhamdulillah, dia udah melewati masa kritisnya. Tapi dia masih belum sadarkan diri."

Irena menggumamkan kata 'alhamdulillah' dengan senyum mengembang.

"Lo sendiri gimana kabarnya?"

Seketika tubuh Irena membeku kala kalimat lembut itu dikatakan oleh Rizky. "Gue...baik-baik aja."

"Na, jangan takut! Gue ada buat lo, gue bakalan cari bukti kalau lo nggak bersalah."

Cukup lama Irena terdiam, menatap Rizky lekat. "Segitu yakinnya lo sama gue, Ky?" Irena tersenyum miris. "Gue ini penjahat, Ky! Gue hampir aja celakain Tommy, orang yang lo suka!"

Mata Rizky menatap Irena marah. "Jangan pernah sebut diri lo penjahat! Gue nggak suka!"

Napas Irena memburu. "Lo nggak liat 'kan video yang nunjukkin gue mau celakain Tommy?!"

"Video?", tanya Rizky. Kepala Irena mengangguk.

Rizky mengusap wajahnya. "Intinya, gue cuma mau kasih tau sama lo, gue harap lo masih sabar, gue mau cari bukti yang nge-buktiin lo nggak bersalah. Nggak akan gue biarin lo lebih lama disini."

Tak berlangsung lama pertemuan itu, Rizky memilih pergi. Menyisakan Irena dengan wajah penuh tanya. "Apa yang bakalan Rizky lakuin?"

Dara mendekat kearah Irena. Berdiri disebelah gadis itu dengan senyum lebar. "Kayaknya, si Rizky itu sayang banget sama lo."

Terkesiap, Irena malah memandangi Dara dengan pandangan horor. "Ngaco lo, kak. Mana mungkin?" Irena tertawa sumbang.

"Yee, nih anak gue kasih tau nggak mau percaya." Dara merapikan rambutnya. "Lo liat aja pandangannya, kayaknya dia itu nggak mau lo kenapa-napa. Bukan berarti dia itu dulunya punya perasaan menyimpang ke sahabat lo yang lagi di rumah sakit itu, nggak menutup kemungkinan kan dia bisa sayang sama lo? Bahkan orang jahat pun masih punya sisi manusiawi dan sisi baik didirinya walau cuma sedikit. Rizky itu sama. Mungkin dulunya dia punya perasaan menyimpang, dan mungkin aja sekarang Tuhan lagi buat hatinya tertuju ke lo."

"Nggak mau berharap banyak gue, kak. Takut sakit hati."



*****



Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Rizky dan Irena

Jangan lupa vote dan komentarnya

Salam hangat,
Dhelsaarora

Rizky & IrenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang