39. Salah atau Benar?

98 8 2
                                    

Putri nampak menutupi kepalanya menggunakan penutup hoodie. Cuaca hari itu tidaklah dingin, dan sekarang sedang tak masuk musim hujan.

"Eh, Put!" Ambar menyapa Putri tatkala tak sengaja berpapasan dengan gadis itu.

Putri yang disapa malah menundukkan kepala. Sesekali tangannya menarik penutup kepalanya yang dikenannya.

"Lo kenapa dah, Put? Masih sakit?", tanya Ambar.

Putri hanya menganggukkan kepalanya singkat.

Ambar berdecak. "Aduh, Put! Udah tau sakit masih maksain diri datang ke sekolah. Istirahat aja lah, Put."

"Nggak papa kok, Bar. Kondisi gue juga udah lebih baik dari kemarin," balas Putri tanpa menoleh kepada Ambar.

"Put, liat gue!" Ambar lalu membalik paksa tubuh Putri, dan betapa terkejutnya ia mendapati Putri dengan luka gores dibagian pipinya.

"Ya Allah, Put! Pipi lo kenapa?"

Putri segera menyentuh luka dipipinya. "Nggak kok, Bar. Luka biasa ini."

Ambar meringis pelan memandangi luka gores pada pipi Putri. "Ke UKS yuk, Put! Takutnya luka lo bisa infeksi kalau nggak diobatin."

Putri menggeleng pelan. "Nggak papa kok, Bar. Tadi pagi juga gue udah obatin."

Ambar menghembuskan napas lalu memberi tatapan prihatin pada Putri. "Ntar lo obatin lagi, biar nggak infeksi."

Putri mengangguk patuh. "Iya, Bar."  Putri pun pamit untuk ke kelas lebih dulu pada Ambar.

Ambar pun kini tinggal seorang diri. "Kasian banget sih tuh anak. Siapa yang tega ngelakuin itu ke dia? Itu luka pasti karena siksaan fisik!" Ambar berujar dengan nada yakin.

Gadis itu melanjutkan langkah, hingga ia berpapasan dengan Zavier. Zavier yang melihat Ambar langsung menyunggingkan senyum tipis. "Hai, Bar!", sapa Zavier ramah.

"Hai juga Zavi!", sapa Ambar balik dengan mata tak fokus.

"Lo kenapa, Bar? Lo sakit?", tanya Zavier, Ambar malah menggeleng pelan. "Nggak kok, Zavi. Cuma, tadi gue liat Putri luka dibagian pipinya. Gue takut dia dicelakain sama orang, kasian tau."

Zavier hanya diam menyimak perkataan Ambar. Setelahnya ucapan Ambar berhasil membuyarkannya.

"Zavi, gue duluan, yah!"

Zavier menganggukkan kepala. Pikirannya terus saja memikirkan ucapan Ambar. "Apa Putri terluka gara-gara perbuatan Jennessa?! Ah, gila! Gue harus ngomong sama dia sekarang!"


*****


Irena yang baru saja menginjakkan kakinya didalam kelas seketika menjadi pusat perhatian seisi kelas, termasuk Rizky.

Senyum diwajah Rizky mengembang, ia bersyukur Irena datang ke sekolah. Itu artinya, ia bisa berbicara pada gadis itu, tanpa perlu takut jika gadis itu ingin menghindar darinya.

"Ireeeennnnnnaaaaa!" Ambar bangkit dari duduknya dan langsung memeluk Irena. Irena yang mendapat perlakuan seperti itu dari Ambar hanya tertawa pelan.

"Woy, Bar! Jangan meluk gue kenceng-kenceng, gue susah napas!", ujar Irena seraya tertawa.

Ambar melepaskan pelukannya dari Irena, wajahnya nampak cemberut dan langsung memukul Irena. Irena meringis kesakitan karenanya.

"Dasar nyebelin! Dua hari lo nggak masuk sekolah, bikin gue panik!", amuk Ambar dengan mata berkaca-kaca. Irena jadi merasa bersalah.

"Maaf, Bar..", ujar Irena dengan wajah menunjukkan raut bersalah.

"Untung ada Rizky yang rela nyari lo sampai malam, jadi gue nggak khawatir-khawatir amat, karena Rizky selalu ngasih kabar ke kita-kita."

Seketika Irena dibuat bungkam saat Ambar menyebut nama Rizky. Rasanya tenggorokannya tercekat hanya karena nama Rizky disebut dihadapannya.

Senyum kecut Irena tergambar jelas. Tak semudah itu melupakan kata-kata yang Rizky ucapkan kepadanya.

Dengan napas berderu, Irena memilih duduk dengan perasaan berkecamuk. Ditambah lagi ia baru sadar, ternyata sedari tadi Rizky memandanginya.



*****



"Na! Gue mau ngomong sama lo!"

"Maaf, Ky! Gue nggak bisa! Gue mau ke perpus!"

Irena mempercepat langkahnya, dan tak menghiraukan Rizky yang tengah berbicara kepadanya.
Berbicara pada Rizky, sama saja menyakiti hati.

"Apa kata-kata gue sebegitu nyakitinnya, sampai lo nggak mau ngomong lagi sama gue, Na?"

Irena berhenti. Dengan pandangan dingin ia menatap tepat dimanik mata Rizky. "Tanpa gue kasih tau lo udah ngerti jawaban gue, Ky!" Rizky bungkam. Irena tertawa sumbang. "Emangnya, dengan lo bilang lo nyesel kalau gue ada di hidup lo, itu nggak nyakitin gue, Ky? Sakit rasanya,Ky. Ditambah lagi, lo nuduh gue yang macam-macam. Dan soal perasaan gue, yah gue suka sama lo, suka banget. Tapi gue nggak pake cara kotor buat bisa dapatin lo. Yang namanya cinta nggak bisa dipaksain, 'kan?"

Rizky menarik Irena mendekat padanya, hingga kepala gadis itu membentur dada Rizky. Rizky melingkarkan tangannya pada tubuh Irena. Tubuh Irena menegang hebat. "Seribu kata maaf pun nggak bakalan bisa menebus kesalahan gue, Na. Tapi gue cuma mau lo tau, kalau waktu bisa diputar ulang, gue nggak bakalan ngucapin perkataan paling kasar ke lo."

Irena hanya mendengar dengan pandangan hampa. Tubuhnya sama sekali tak bisa bergerak, sebab Rizky mengunci pergerakannya.

"Lepasin gue, Ky! Lo nggak mau 'kan orang lain liat gue sama lo disini?", ujar Irena pelan, menusuk.

Rizky malah mengeratkan pelukannya. "Nggak bakalan gue lepasin sebelum lo mau ngomong empat mata sama gue."

"Ky..."

"Ucapan gue nggak main-main, Na." Kata Rizky dengan suara berat dan dalam.

"Gue nggak bisa ngomong apapun ke lo, Ky. Gue butuh waktu," lirih Irena.

"Oke, lo nggak mau ngomong. Jadi gue bakalan terus meluk lo, nggak peduli sampai pulang sekolah kita bakalan tetap disini."


*****



"Jen, berhenti buat ulah! Lo udah terlalu banyak berbuat onar!", tegur Zavier dengan rahang mengeras.

Brak!

Dengan kesal Jennessa menggebrak meja. "Apa lagi kesalahan gue, Zav?! Apa?!"

"Lo 'kan yang buat Putri luka?", tuding Zavier.

Jennessa terdiam sejenak. Ia menatap Zavier dengan sangat tajam. "Apa peduli lo sama Putri, hah?! Lo nggak tau aja, dia itu bahkan lebih jahat daripada gue!"

Zavier mengusap wajahnya. "Jen, gue nggak mau terjadi apa-apa sama lo! Gue ini sahabat lo, 'kan? Jadi dengerin gue, ini semua demi kebaikan lo!"

"Ah, banyak omong lo! Lo nggak liat muka gue juga luka?!" Jennessa melepas kasar plester obat yang menutupi bagian pipinya, dan memperlihatkan luka goresan cukup parah disana.

Zavier sedikit terkejut melihatnya, tapi ia kembali menggelengkan kepala. Ini pasti akal-akalan Jennessa, pikirnya.

"Lo pasti kaget siapa yang ngelakuin ini. Putri pelakunya! Hahahahaha!" Jennessa tertawa keras dihadapan Zavier.

Zavier tak habis pikir dengan Jennessa. Entah bagaimana caranya menyadarkan gadis itu untuk tak melakukan hal yang sifatnya sia-sia. Mencelakai orang lain itu sama sekali tak akan memberi kebahagiaan, yang ada hanyalah penyesalan.

"Lo emang perlu dokter, Jen! Lo sakit!", ucap Zavier dengan nada sarkas.

*****



Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Rizky & Irena

Jangan lupa vote dan komentarnya

Salam hangat,
Dhelsaarora

Rizky & IrenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang