46

1K 133 8
                                    

Begitu mobil memasuki pekarangan rumah, Soobin tidak bisa berhenti menatap ke belakang. Anak itu tengah mengecek apakah Sojung sudah pulang atau belum. Sayang sekali Soobin harus kecewa karena lampu rumah sebrang itu masih padam, pertanda bahwa rumah itu masih kosong hingga sekarang.

"Soobin, ayo masuk," ajak Seokjin yang berdiri di ambang pintu. Melihat anaknya tak kunjung merespon, Seokjin mau tak mau menghampiri putranya dan menggendong anak itu. "Kau ini, di luar dingin. Lagipula kenapa kau malah melamun?"

"Soobin tidak melamun. Soobin melihat rumah Mama yang masih gelap," jawab anak itu. "Pa, kapan Mama pulang?"

"Berhentilah menanyakan hal itu. Papa juga tidak tahu."

"Soobin ingin bertemu Mama," rengeknya. "Katanya akan pulang cepat, tapi Mama malah bohong. Ayo telfon Mama."

"Tidak, ini sudah malam." Seokjin menurunkan Soobin di depan pintu kamar anak itu, lalu membukakan pintu agar Soobin masuk. "Gosok gigi dan cuci muka, lalu tidur. Oke?"

Alih-alih menuruti perintah ayahnya, Soobin malah mendongak dengan muka cemberut karena permintaannya tidak dituruti. "Apa?"

"Telfon Mama."

"Tidak Kim Soobin. Lagipula dia bukan Mamamu. Bibi Sojung hanya orang lain, jadi jangan lagi menyebutnya Mama! Mamamu hanya satu, Ahn Cheonsa."

"Bibi Sojung Mamaku juga."

"Bukan."

"Dia Mamaku –-hiks."

"Bukan lagi, Kim Soobin."

"Soobin benci Papa!" anak kecil itu lantas menginjak kaki ayahnya sebelum masuk ke kamarnya dan menangis. Merasa kesal karena ayahnya tidak memberi izin untuk menelfon Sojung. Bahkan Seokjin bilang bahwa Sojung bukan mamanya, terang saja itu membuat Soobin kecewa dan marah.

Seokjin? Lelaki itu bergeming selama beberapa saat begitu mendengar perkataan Soobin. Hatinya mencelos, tidak menyangka putranya akan bicara seperti itu. Apa sikapnya keterlaluan tadi? Buru-buru Seokjin menyusul putranya masuk. Terdengar suara tangisan dari kamar mandi dan Seokjin membuka pintu kamar mandi yang tidak dikunci itu. Soobin ada di dalam sana, wajahnya basah karena air dan sebagian karena air matanya.

Sambil menangis sesegukan, anak itu mengoles sikat giginya dengan pasta gigi. Melihat kelakuan Soobin, perasaan Seokjin jadi campur aduk. Dia ingin tertawa karena meski anak itu marah hingga menangis, masih tetap menuruti apa yang Ia perintahkan sebelumnya. Tapi di sisi lain Seokjin merasa bersalah karena membuat Soobin bersedih dan merasa kecewa kepada ayahnya sendiri.

Seokjin diam menunggu Soobin hingga ia selesai gosok gigi, bertepatan juga dengan berhentinya tangisan anak itu meski masih sedikit sesegukan. Lantas Seokjin berlutut di hadapan Soobin dan memeluknya. "Papa sayang Soobin. Jangan benci Papa ya?" lelaki itu menangkup kedua pipi chubby anaknya. Soobin awalnya masih ingin memberontak, tapi begitu melihat ayahnya menangis, dia luluh dan malah memeluk Seokjin.

"Papa jangan menangis," katanya dengan suara bergetar. Pelukannya erat dan sesekali Soobin mengusap punggung Seokjin, meniru apa yang biasanya orang dewasa lakukan untuk menenangkan orang yang menangis. "Papa menangis karena Soobin membenci Papa."

Soobin menggeleng cepat, "tidak. Soobin tidak benci, Soobin sayang Papa."

"Benarkah?" Seokjin kembali menatap wajah putranya. Soobin mengangguk, membuat Seokjin tersenyum tipis. "Kalau sayang Papa, bukankah Soobin cukup punya Papa saja? Soobin bisa main dengan Papa kapan pun, bisa minta peluk dan jalan-jalan dengan Papa, tidak perlu Mama. Soobin tidak apa-apa kan?"

"Tapi Soobin mau Mama juga."

"Memang Mari dan Bunda bukan mama Soobin?" anak itu hanya menunjukkan ekspresi cemberutnya. "Sudah, ya. Jangan mencari Bibi Sojung lagi. Kau dengar kan Bibi Sojung akan segera menikah?" Soobin mengangguk.

Y (SOWJIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang