37 | Playing Victim

9K 997 923
                                        

37 | Playing Victim

Sorry karena barru bisa update sekarang. Beberapa hari ini aku sedang ada urusan di kampus, sedang sibuk jadi ga punya waktu untuk nulis.

Sebagai gantinya, bab kali ini bakalan panjang. Hampir 2000 kata.

Semoga suka, Selamat membaca!!

---

Kamu bertindak sebagai korban, padahal dalam kasus ini kamulah penjahatnya.

---

Menangis, adalah hal yang paling manusiawi yang terjadi kepada seseorang. Bukan berarti lemah, menangis hanya bentuk pengungkapan perasaan sedih yang mendalam di dalam hati.

Setiap yang singgah, pasti akan pindah jika sudah saatnya. Ada yang pindah karena dipisahkan oleh maut, ada juga yang memilih pindah ke hati yang baru. Intinya tidak ada satupun yang abadi di dunia ini. Perasaan mungkin menjadi bagian dalam ketidakabadian itu.

Ada kalanya sesorang mencintai kita dengan sepenuh hati, namun akan ada saatnya juga seseorang itu memilih berhenti dan mencari cinta yang baru dari seseorang yang dirasanya jauh lebih baik.

Patah hati tidak akan membuat kehidupan seseorang menjadi terhenti, patah hati hanya mengajarkan bagaimana caranya bangkit dari keterpurukan. Bukannya hanya diam di satu titik dan meratapi nasib tanpa ada pikiran untuk melangkah maju, dan mengubur semua kenangan pahit masa lalu dalam-dalam.

Dan jika ditanya, Magika akan mengatakan bahwa dia saat ini sedang ditahap untuk bangkit kembali. Berusaha tersenyum ditengah hatinya yang tengah direparasi. Berusaha menata hidup dari kesedihan yang sempat membelenggunya, kesedihan yang sempat membuat harinya terasa suram, kesedihan yang membuatnya enggan untuk makan dan mengurung diri di kamar selama berhari-hari.

Setelah kondisi hatinya membaik, Magika merasa dia sudah salah langkah dengan menangisi semua kejadian itu. Di dalam benaknya juga dia berpikir, memangnya orang itu juga menangis seperti yang ia lakukan?

"Life must go on, Gika." Cewek itu tersenyum menatap hijaunya taman dengan beranekaragam tanaman di dalamnya dan juga pancuran air di beberapa sisi.

Melihat begitu banyak anak-anak yang bermain dengan begitu riangnya, Magika kembali berpikir andai saja masa kecil itu abadi, dia mungkin tidak perlu merasakan sakitnya patah hati juga merasakan sakitnya mencintai dengan sepenuh hati namun tidak mendapat timbal balik yang sepadan.

Magika berjalan menuju salah satu kursi yang ada di taman itu, menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali. Terlalu lama mengurung diri membuat ia seakan lupa bagaimana sensasinya menghirup udara segar di ruang terbuka.

"Gika, lo di sini juga?"

Suara berat itu membuat Magika-yang tadinya hanya terdiam dengan tatapan yang entah ia tujukan ke mana mendadak terperanjat dengan ekspresi terkejut. Agaknya tidak menyangka dengan kehadiran cowok itu di sini.

"Kak Rafael? Kok bisa di sini?" balas Magika.

Rafael mengambil posisi duduk di sebelah kanan Magika, cowok itu bersandar di bangku. "Gue emang sering ke sini, dulu mama sering ajak gue dan Tasya main di taman ini."

"Lo pasti kangen mama lo ya Kak?"

Rafael menghela napasnya berat, dia mengangguk. Tentu saja dia rindu dengan mamanya. Mamanya pergi begitu cepat, Rafael kehilangan mamanya di kala ia masih sangat belia, di saat ia sebenarnya masih sangat membutuhkan figur seorang ibu di hidupnya.

MIRACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang