Tiga bulan setelah lamaran di restoran dengan penuh kejutan itu, Mentari dan Surya akhirnya menikah. Pestanya sangat ramai didatangi oleh tamu undangan. Entah itu kenalan Mentari ataupun rekan bisnis dan kenalan Surya.
Ijab qobul akan dimulai, semua dekorasi berwarna putih, sesuai keinginan Mentari. Masih sama alasannya, putih adalah warna yang tidak berwarna. Tapi dia masih belum bisa menjelaskan secara rinci, apa itu warna yang tidak berwarna.
Mentari masih diam di depan cermin seraya mengontrol detak jantungnya, hari ini adalah hari sakral mereka. Di mana dia mengubah status bukan lagi gadis tetapi akan menjadi istri dari lelaki yang ia cintai dari sembilan tahun lalu. Bahagia? Tentu, dia sangat bahagia. Tetapi kadang jantungnya tidak normal, sering melompat-lompat sendiri apalagi saat seperti ini. Ia sekali lagi mengamati pantulan dalam cermin. Wajahnya dengan make up pengantin dan riasan yang elegan terlihat sangat cantik.
"Mentari." suara berat membuyarkan lamunannya, gadis itu menoleh, menemukan papanya yang sedang tersenyum bersama mamanya di ambang pintu kamar rias.
Mentari tersenyum, "sudah siap?" tanya mamanya seraya mendekat. Gadis itu hanya mengangguk, lalu Fandi mengambik kursi dari pojok ruangan.
Mendekati putri sulungnya dengan mata berkaca, antara haru, bahagia, dan sedih karena tanggung jawabnya sebagai ayah tidak terlaksana dengan baik. Fandi menyentuh lengan anaknya, "kamu sudah dewasa, sudah tahu mana yang baik untuk kamu dan mana yang tidak, dan Suryalah jawaban dari doa papa selama ini. Dia masa depan kamu, lelaki terbaik untukmu, Nak. Tanggung jawab Papa sudah berakhir walaupun tak sepenuhnya tanggung jawab Papa lakukan dengan sepenuhnya. Papa gagal menjadi ayah yang baik."
Mentari menggeleng menahan isakan dan air matanya agar tidak keluar, "tidak, Pa. Papa tetap ayah terbaik bagi Mentari, Papa tetap pahlawan bagi Mentari, Papa tetap segalanya bagi Mentari. Papa tidak gagal, bahkan Papa sukses besar dalam mendidik anak-anaknya."
"Papa gagal, Nak. Lihat, Papa gagal menjaga Bintang, dan Papa gagal mendidik dan memberikan tanggung jawab kepada kamu sampai kamu harus pergi ke belahan bumi yang jauh dari sini, tapi Papa tidak bisa mencegah, Papa malah membiarkan kamu tersiksa di sana dengan keadaan. Kamu harus kerja banting tulang untuk mencari makan dan biaya kehidupan padahal tugas kamu hanyalah belajar!" Fandi tetap membantah dan terisak menyesal.
"Sekarang lihat Papa! Papa sekarang menjadi tahanan, terkena kasus kriminal bernama korupsi. Papa orang jahat, Nak. Papa gagal menjalankan tanggung jawab Papa sebagai ayah. Menelantarkan keluarga di ambang kemiskinan, kehilangan anak sulungnya, gagal menjaga anak bungsunya. Papa tidak pantas disebut ayah yang baik."
Mentari menggeleng, kali ini air matanya lolos, benteng pertahanan agar semesta tidak melihatnya menangis gagal, "Papa tetap ayah terbaik bagi Mentari. Segagal apapun Papa tetap ayah terbaik Mentari, karena Papa adalah satu-satunya ayah Mentari. Mentari sayang Papa. Papa jangan bicara seperti itu."
Elisa tak kuasa menahan air mata melihat suami dan anaknya menangis haru dan bahagia. Ia membaur memeluk dua makhluk yang sangat ia sayangi, "Mama juga minta maaf, Sayang. Mama juga tidak menjalankan kewajiban sebagai ibu yang baik, Mama bahkan menyia-nyiakanmu, Nak. Mama telah menjadi ibu yang gagal."
"Tidak, Ma. Mama tetap ibu terbaik bagi Mentari. Sudah melahirkan Mentari, menyusui Mentari, merawat Mentari, mendidik Mentari sampai saat ini. Mama ibu yang hebat, ibu paling hebat yang bernah Mentari kenal." semuanya haru, memeluk satu sama lain, haru biru menyelimuti ketiganya.
"Maaf, Mbak Mentari. Ijab qobul akan segera dimulai." seseorang menggunakan kebaya putih memperingatinya, menyadarkan kekuarga itu dari keharuan yang menyelimuti.
"Ingat, Nak. Kamu akan menjadi seorang istri. Kamu tahu surga istri terletak di mana?"
Mentari mengangguk, "surga istri adalah suaminya."
Fandi mengangguk dan tersenyum, "taggung jawab Papa sebagai ayah telah digantikan Surya, calon suamimu. Kamu tanggung jawabnya dan dia tanggung jawabmu. Patuhi perintah suamimu dia surgamu."
Mentari mengangguk dan Fandi mengecup lama puncak anak sulungnya.
***
Mentari berjalan menuruni tangga, ramai tamu undangan mengaksikannya. Menyaksikan pengantin dengan balutan busana tradisional jawa. Adat pernikahan Surya yang memilih, memilih adat dari tanah kelahirannya yaitu Jawa. Dari atas, Surya terlihat gagah dengan balutan setelan jas putih dan dasi hitam melingkar di lehernya tak lupa peci putih. Bunga melati juga mengalung di lehernya. Mentari tampak sama, menggunakan rangkaian bunga melati yang ditusukkan di sanggulnya. Semua mata tertuju pada pengantin anggun yang akan menuju pada meja ijab qobul. Elisa mempersilahkan anaknya untuk duduk.
"Baik ijab qobul kita mulai."
(Author gak tahu yang baca kalimat syahadat itu siapa. Entah itu kalimat syahadat atau apa. Soalnya gak pernah liat orang nikahan)
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Surya Angkasa bin Dani Angkasa dengan anakku Mentari Arsyaila Dermawan binti Fandi Dermawan dengan mas kawin seperangkat alat solat dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya, Mentari Arsyaila Dermawan binti Fandi Dermawan dengan mas kawin tersebut, Tunai." dengan lancar Surya mengucapkan kalimat sakral itu den menjabat mantap tangan penghulu.
"Bagaimana, saksi? Sah?"
"Sahh." haru biru menghiasi gedung megah itu, semuanya bersyukur karena dua insan manusia yang terpisah lama ini akhirnya bersatu dalam ikatan pernikahan. Pernikahan yang paling dinantikan oleh semua sahabat-sahabatnya.
Mentari menyalami tangan suaminya dan mencium punggung tangannya. Sedangkan Surya mencium puncak kepala istrinya.
"Terima kasih sudah bersedia menjadi pendamping hidupku untuk selamanya."
"Terima kasih sudah bersedia menjadi surgaku, Mas." Mentari tersenyum hangat penuh syukur.
"Terima kasih, Tuhan. Engkau sudah mempersatukan kami dalam ikatan yang sah dan halal sesuai dengan sunahmu." batin Mentari haru.
🍒🍒🍒🍒🍒🍒
Gimana epilognya? Eak eak eak. Seneng deh akhirnya pasangan dengan seribu rintangan akhirnya nikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Meet (COMPLETED)
Dla nastolatkówPertemuan bukan awal dari perpisahan, namun kamu saja yang belum mengikhlaskan perpisahan itu. Jangan salahkan pertemuan jika kau kehilangan, karna pertemuan dan perpisahan adalah sebuah takdir, lantas jangan melawan takdir karena sejatinya takdir...