Sudah berbulan-bulan sejak kejadian pertemuan yang tidak diinginkan itu. Scarlette menjalani hidupnya seperti biasa. Hubungannya dengan Kenrick juga berjalan dengan baik.
Kesibukan juga telah kembali melanda gadis berwajah oriental ini. Tiga hari meninggalkan kelas, tidak serta membuatnya terbebas dari mata kuliah. Ada banyak tugas yang harus dilakukan dan ternyata tidak hanya itu, ketidakhadiran dirinya membawa petaka sendiri baginya.
Semua itu adalah kebenaran saat kakinya melangkah. Berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Sebelah tangannya mendekap map berwarna biru dan sebelahnya lagi di isi tas yang disampirkan di bahu.
Jam delapan lebih sepuluh menit. Telah lewat dari perjanjian awal yang seharusnya jam delapan. Semoga saja orang itu tidak marah karena keterlambatannya.
Kaki yang terbalut sepatu flat itu berhenti di depan pintu berwarna serupa dengan sepatunya. Scarlette menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Mengusir bayangan mengerikan tentang penolakan yang mungkin akan diterimanya.
Tangannya terulur dan dalam dua ketukan, suara dari balik pintu terdengar. Menyuruh masuk dan ia tidak mau kembali membuang waktu. Ia segera memutar knop pintu. Mendorong dan kakinya pun menyelinap masuk.
"Maaf sir. Saya terlambat..." begitulah sapaan yang pertama kali diucapkan Scarlette. Wajahnya ia tundukkan demi menyamarkan ringisan kecil dari bibirnya. Merasa tidak profesional terhadap janji yang telah dibuat sendiri.
"Tidak masalah. Kau masih berutung karena lima menit lagi kau terlambat, kau tidak akan bisa menemuiku."
Suara familiar memasuki inderanya. Ia yang semula menunduk akhirnya mengangkat kepala. Matanya menatap horor pada orang yang ditemui di depannya.
Begitupun dengan orang yang berada di depannya. Terkejut hingga panggilan yang keluar dari bibirnya bernada tidak percaya
"Scarlette...." panggilan yang sama yang selalu Scarlette dengar kini terdengar kembali. Ia menahan napas saat netranya bertemu dengan mata cokelat miliknya.
Terkejut hingga kakinya melangkah mundur. Ia mengeratkan pelukannya pada map yang berada di depan dada. Belum bisa mengerti mengapa ia harus di pertemukan kembali dengannya.
Ia ingin memutar langkah. Meninggalkan pria ini seperti yang biasa ia lakukan saat bertemu. Tapi ucapan dosennya menghalangi keinginannya.
'Aku tidak menerima kata gagal dan penolakan. Ini kesalahanmu dan kau harus bisa mengatasinya sendiri.'
Scarlette berdiri tegak. Meluruskan kakinya. Menormalkan degup jantung tak beraturannya. Terus mengatakan pada dirinya sendiri untuk bersikap biasa. Ia pasti bisa berdiri disini selama beberapa menit saja. Dia hanya orang lain. Bukan orang itu. Tentu saja. Hanya orang lain.
"Apakah saya masih bisa dikatakan beruntung bisa bertemu anda, sir?"
Entah ini pertanyaan dari perkataan Jade tadi atau ia mengajukan pertanyaan dengan makna lain. Karena tanggapan Jade selanjutnya membuat Scarlette mengepalkan tangan.
"Justru aku yang beruntung bisa menemui mu. Aku telah lama ingin bertemu denganmu. Bertatap muka tanpa harus menghindar."
Telak.. Ucapan Jade meninju dadanya. Ia menarik napas panjang. Menahan gebuan amarah yang tiba-tiba menyerang dadanya. Ia tidak menyangka Jade akan mengatakan hal semudah itu. Bertemu tanpa menghindar. Bukan tanpa alasan ia melakukan itu. Saat itu ia masih dalam tahap penyembuhan hatinya. Namun kini, ia telah kuat. Yeahh.... Semua sudah berakhir dan ia tidak akan lagi menaruh harap pada hati yang telah dikhianati ini.
"Bagaimana kabarmu?"
Jade berdiri. Melangkah memutari mejanya dan berhenti di depan Scarlette. Menyandarkan bokongnya di tepian meja. Menatap Scarlette yang kembali menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say, You Love Me....!!! [Completed]
Roman d'amourPengkhianatan adalah hal yang paling dibencinya. Dan ia sangat menghindari itu. Tapi apa jadinya jika kekasih yang sangat dicintainya melakukan hal tersebut? Melepaskan merupakan pilihannya saat itu... Tapi rasa dihati tidak bisa dihapus begitu saja...