Satria

9.1K 462 1
                                    

"Ini Selena, putri kedua kami setelah Shanon sekaligus putri bungsu kami"

Papa memperkenalkanku dengan sopan dan membimbingku untuk menyalami mereka semua. Mula mula aku menyalami tante Airah dan suaminya yang terlihat sepantaran dengan umur papa. Dan selanjutnya, aku menyalami pria dewasa yang berada jauh dibawah umur Papa.

"Saya Satria dan ini Amanda istri saya" ucapnya ramah dan aku menjabat tangannya seraya tersenyum tak kalah ramah. Pak Satria sungguh tampan diusianya yang sudah kepala tiga, dia awet muda dan terlihat jenius dengan pembawaannnya.

"Om Bastian dan tante Airah ini teman masa kuliah Papa dan Mama, El. Kedua kakakmu sudah kenal dekat dengan mereka, dan yang bapak ganteng ini namanya dokter Satria, beliau adiknya om Bas" Papa menjelaskan satu persatu temannya dan aku hanya butuh mengangguk mengerti. Tak heran juga mendengar kalau pak Satria adalah seorang dokter, karena kejeniusan dan perfectionalitas nya sudah terpancar sedari tadi.

Waktu berjalan sangat lama. Dan aku? Hanya duduk bagaikan mayat hidup yang tidak pernah diajak bicara sekalipun, kulihat Bang Samuel yang cukup akrab dengan mereka karena pria itu terlihat asyik berbicara bersama dokter Satria dan bu Amanda.

Entah perasaanku atau hanya kebetulan saja, pak Satria terlihat beberapa kali mencuri pandang kearahku dan jika aku menangkap basah tatapannya beliau hanya mengangguk kecil dan tersenyum ramah yang sekali lagi hanya mampu kubalas balik.

Bosan. Satu dari sekian penggambaran yang kurasakan hari ini. Seharusnya aku pergi jalan jalan keluar bersama Bianca dan Nindy di hari minggu dan paling mentok aku akan hibernasi seharian di dalam kamar, sebagai bentuk pembalasan karena seminggu penuh disibukkan dengan tumpukkan tugas dan kuliah.

Terkadang, dihari libur seperti ini terbesit rinduku akan Mario yang tiba tiba muncul dengan berpura pura menjadi sahabatku di depan rumah kami. Bermain, menonton hingga jalan jalan keliling jakarta akan kami habiskan hari itu juga. Tapi, semenjak kepergiannya waktu lalu tidak pernah sekalipun dia mengabariku seakan akan kehadirannya selama 5 tahun berlalu hanyalah mimpi belaka dalam hidupku. Setidaknya begini lebih baik, kami sama sama butuh penyembuh untuk setiap luka yang tercipta melalui waktu.

Tiba tiba aku mengernyit begitu sesuatu terasa menghantam perutku bagian kanan, ini sungguh sakit membuat tubuhku lemas dan ingin pingsan saja rasanya. Saat hendak memanggil Mama, Mama malah beranjak menuju dapur untuk mengambil beberapa kue kering. Remasan di perutku semakin kuat seiring rasa sakit yang lebih menjadi jadi.

"Sakit.. akhh" ringisku keras yang langsung mendapat perhatian dari semuanya. Papa terkejut dan langsung menghampiriku begitupun dengan mama dan semuanya.

"Apa yang sakit nak?" Tanya papa khawatir apalagi setelah melihat wajah pucatku. Aku menggeleng lemah, bukan karena ingin mengatakan kalau semuanya baik baik saja, tapi terlebih karena aku tidak bisa menggambarkan jenis rasa sakit yang ku kurasakan saat ini.

"Per--ut El sak akhh it Papah" Setelah mengucap demikian, pandangan ku kosong dan semuanya menjadi gelap. Terakhir yang kudengar adalah papa yang berteriak memanggil Samuel dan tubuhku yang terasa diangkat naik ke dalam gendongan seseorang.

___

Aku terbangun di tengah keheningan malam, kepalaku pusing apalagi ditambah dengan bau obat obatan yang mendominasi. Ruangan ini serba putih dan hanya aku yang berada disini bersama alat alat yang paling kubenci selama hidup didunia ini. Selang infus dan baju pasien ini benar benar membuatku ingin kabur secara paksa dari rumah sakit ini.

Beginilah aku apadanya, gadis liar yang sekalinya berantem dan luka lebih memilih mengobatinya sendiri dari pada bertandang ke tempat yang penuh wajah pesakitan ini.

Kemana semua orang? Apa mereka tega meninggalkan ku sendiri saja disini? Jahat sekali!

Cklekk

Tanpa sadar aku menghela nafas lega begitu mendengar ada yang membuka pintu ruanganku yang artinya sebentar lagi akan ada yang menemaniku disini. Aku menoleh dan terkejut disaat yang bersamaan, yang masuk bukan keluargaku melainkan dokter Satria yang lengkap dengan senyum menawannya. Beliau masuk dengan gagahnya bersama jas putih kebanggaannya itu, dan tanpa mengatakan apapapun dokter Satria memeriksa keadaanku dengan penuh ketenangan.

"Dok, apa segitu parahnya penyakitku hingga sampai pingsan kek orang mati gini?" Tanyaku heran dan mengernyit bingung melihat raut wajahnya yang tiba tiba berubah datar mendengar ucapanku, ekspresinya seakan akan aku menyumpahinya masuk ke luang lahat hari ini juga.

"Jangan bermain main dengan kata mati! kamu sebenarnya sudah lama sadar tapi saya kasih obat tidur biar istirahatmu cukup" terangnya khas seorang dokter pada pasiennya. Aku mengangguk dan kemudian mengangkat wajah untuk kembali menatapnya yang entah kenapa terlihat tampan saat sedang membetulkan aliran pada selang infusku. Rumah sakit macam apa sih ini hingga yang membetulkan hal kecil tersebut harus juga seorang dokter? Kemana juga perginya para perawat?

"Apa kepalamu masih pusing?" Tanya dokter Satria lembut, tangannya hendak mengusap kepalaku sebelum akhirnya dirinya tersadar kembali. Tangan itupun beralih turun.

"Masih dok, perut saya juga masih sakit meskipun tidak sehebat kemarin"

Pria itu mengangguk mengerti.

"Dok, keluarga saya kemana?" Tanyaku setelah sekian lama kami mampu terdiam dengan pikiran masing masing. Dokter Satria mengangkat sebelah tangannya ke udara pertanda untuk menyuruhku diam sejenak, pria itu tampaknya tengah menghubungi seseorang lewat ponsel mahalnya itu. Yang kalau boleh ku tebak adalah seorang perawat.

Setelah mematikan sambungannya, beliau kembali menatapku dengan senyuman khas andalannya. Apa mulutnya tidak kebas selalu tersenyum seperti itu? Aku yang melihatnya saja tidak kuasa untuk berhenti meringis.

"Keluargamu pulang sebentar, nanti mereka kesini lagi. Katanya saudara perempuanmu baru saja sampai sore tadi makanya mereka bergegas pergi"

Dasar keluarga tidak adil! Anak lagi sakit sakit begini mereka malah menyambut kedatangan Shanon yang setahun lalu mengabdikan dirinya menjadi seorang model di Jerman. Segitu parahkah keluargaku hingga tak satu orang pun yang mau menemaniku disini?

Pintu ruangan terbuka kembali dan yang paling cepat menoleh adalah aku, berharap kalau yang datang salah satu dari mereka tapi yang ada hanyalah seorang perempuan yang mengenakan seragam perawat dengan beberapa obat dan alat alat kesehatan yang tengah didorongnya di posisi depan.

"Malam dok" sapanya sopan yang dibalas anggukan oleh dokter Satria.

"Mohon maaf, dok. Petugas ganti belum pada datang dan perawat yang tersisa  kebagian tugas menangani pasien tabrak lari" sesal perawat itu seraya menunduk hormat pada sang dokter.

"Iya tidak papa, saya juga baru datang. Oh ya kamu ambil sampel darahnya dan bawakan ke laboratorium segera, ya! Dari kemarin panas badan dan perutnya tidak berenti sakit sedikitpun, saya khawatir ada sesuatu yang serius pada gadis ini" Perawat itupun mengangguk mengerti dan bersiap memasangkan sarung tangan pada kedua tangannya. Sebelum perawat tersebut berhasil menusukkan jarum suntik itu pada lenganku, aku tersentak dan sontak menghindar. Bukan hanya si perawat yang kaget melainkan dokter Satria juga, tampaknya si dokter tampan belum berniat keluar dari sini.

Mereka menatapku bingung.

"Saya gak pernah disuntik dok, sus"
Kataku sok tenang, padahal dihatiku ini sedang berdisko ketakutan.

"Loh kenapa? Bukannya waktu memasangkan infus kamu juga disuntik?" Tanya si perawat heran.

Dokter satria pun terlihat sama herannya.

"Waktu itukan saya gak sadar. Gimana sih?" Ujarku sewot yang berhasil membuat mereka berdua melotot kaget.

T.b.c

SELTRIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang