"Acen mau kemana, nak? Sudah malam ini" Aku berulang kali menggendong kembali anak itu yang terus saja melarikan diri dari atas tempat tidur. Ini sudah jam 11 malam dan Arsen tetap tidak mau sedikitpun menutup matanya. Semenjak percakapan intens tadi siang dimana aku mengutarakan niatku untuk pulang ke Canberra dalam dua hari kedepan, Arsen seakan - akan menghindar dan terus saja menanyakan apakah Daddy nya akan ikut atau tidak kepadaku. Aku memilih diam tidak menjawabnya karena aku memang tidak tau mau memberikan jawaban apa yang setidaknya bisa diterima anak sekecil Arsen.
"Acen mau sama Daddy. Acen gak mau tidul sini.. hiks" aku menghela nafas kasar seraya menggendong tubuh mungilnya dan menepuk nepuk punggungnya pelan. "Tidur ya, sayang. Jangan nangis terus" bujukku lembut. Jujur aku kasian melihat nya begini tetapi ego sialan ini masih mendominasi.
"Kasian Daddy nanti kalau Acen pulang. Daddy sama sapa? Sini bukan lumah Daddy tapi lumah Oma. Daddy mau tinggal dimana?" Anak sepolos ini tentu saja tidak akan mengerti kalau ayahnya juga punya rumah sendiri tapi ajaibnya Arsen sudah mampu berpikir sampai disana. Aku benar benar jahat! Putra kecilku seharusnya tidak boleh berpikir sedewasa ini sebelum waktunya.
"Kalau Acen pelgi, siapa nanti yang apus ail mata Daddy?"
Aku terkejut tentu saja. Satria menangis di depan anaknya sendiri? Apa maksudnya ini?
"Maksud Acen apa, nak? Daddy sering nangis dekat Acen?"
Anak itu menggeleng pelan, masih sambil terisak.
"Daddy selalu suluh Acen cepat tidul. Pas Acen pula pula tidul, Daddy nangis cium cium Acen"
"Daddy bilang.. hiks.. Daddy sayang Acen dan lindu Acen... hiks padahal Acen gak kemana - mana. Acen selalu nunggu Daddy pulang dali bekelja tapi Daddy selalu bilang Acen gak boleh ninggalin Daddy lagi... hiks"
Jantungku berdebar kencang dengan hati yang serasa diremas kuat. Tidak usah dipertanyakan lagi kebenaran perkataan Arsen barusan karena selain fakta bahwa anak kecil tidak akan berbohong, aku yakin Satria sesayang itu pada Arsen. Dulu saja, waktu aku hamil Arsen, dia selalu menanyakan kabar anaknya di dalam perutku dan mengajak calon bayinya itu berbicara. Aku tidak akan pernah bisa membayangkan seberapa besar rasa sakit yang ditanggung Satria saat buah hati yang dinanti nantinya selama ini kubawa kabur selama 4 tahun lamanya.
"Selena"
Lamunanku buyar begitu pintu diketuk oleh Mama dari luar. Buru buru aku menghapus air mata Arsen dan berjalan keluar. Terlihatlah wajah Mama yang panik dengan tangan yang bergetar hebat. Perasaanku mulai tidak enak.
"Satria, nak..."
Deg
Ada apa dengan dia?
"Suamimu kecelakaan"
Disaat itulah dunia ku seakaan runtuh seketika sehingga aku hampir saja menjatuhkan diri dengan Arsen di gendonganku kalau saja Mama tidak buru buru menahan kedua lenganku
"Tenangkan dirimu, nak. Kasian Arsen" aku melirik putraku yang dengan polosnya memandangku seakan bertanya ada apa? Aku tersenyum lembut dan mengecup dahinya.
"Acen dirumah sama Tante Shanon ya? Mommy mau keluar sebentar sama Oma"
"Acen ikut"
"Ami pergi sebentar aja kok"
"Ami mau ketemu Daddy kan? Acen ikut"
Aku hampir putus asa membujuk anak ini agar mau ditinggal, namun tetap saja Arsen menggeleng tegas dan bahkan dengan erat memeluk leherku yang membutku hampir tercekik karenanya.
"Biarin aja Arsen ikut, nak. Mana tau Arsen menjadi sumber kekuatan untuk ayahnya nanti"
"Ayah itu siapa Mi?" Tanyanya polos yang membuat ku memilih bungkam. Bukan waktu yang tepat menjawab pertanyaan konyol seperti itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
SELTRIA
Romansa[NEW COVER] Wajib Follow sebelum baca✨️ ××× Dia Selena, gadis belia yang harus merasakan ketidak-adilan dalam hidupnya. Semuanya kacau berantakan karena sedari awal dia sudah salah dalam memilih, namun ketahuilah bukan hanya itu saja keadaan terburu...