Bodoh

5.8K 316 9
                                    

Malam ini hujan turun begitu lebatnya, membasahi kota dan memberikan kesan mencekam bagi makhluk pengelana malam. Jalanan tampak sepi karena semua orang pasti lebih memilih berdiam diri dirumah, duduk di dekat perapian sambil rebahan menikmati suasana dingin saat ini. Lah aku? Boro boro nyantai, tujuan aja gak jelas begini.

Ingin menghubungi orang rumah sama aja bunuh diri rasanya. Nginap dirumah Nindy atau Bianca bukanlah ide yang baik, secara rumah mereka terbilang jauh dari sini. Taksi aja enggan melewati daerah sekitar. Aku menghela nafas kasar sambil berusaha menyembunyikan kedua telapak tanganku kedalam saku jaket yang sialnya sama sekali tidak membantu ini. Bagaimana tidak, jaket yang kukenakn hanyalah jaket kulit lengan pendek untuk menyamarkan tanktop yang kukenakan ke club sebelumnya.

Aku hilang arah! Aku tudak tau harus kemana yang jelas aku tidak akan kembali ke rumah. Mama akan membunuhku jika itu kulakukan.

"Kadang kita merasa benar atas apa yang kita kerjakan tanpa memikirkan pendapat orang lain"

Sontak aku menolehkan kepala kesamping untuk mencari asal suara yang walaupun terendam suara hujan masih sangat jelas kudengar itu.

Seorang ibu ibu seumuran mama langsung duduk disampingku sambil menutup payung yang barusan ia gunakan untuk melindunginnya dari hujan.

"Ibu bicara sama saya?" Tanyaku seraya menunjuk diri sendiri. Bukannya menjawab, ibu itu malah mengabaikanku kali ini. Matanya fokus kedepan dengan tatapan kosong.

"Ibu!!" Sekali lagi aku memanggilnya dengan lebih keras membuat wanita paruh baya itu tersenyum sinis menatapku.

"Kau benar benar potretku di masa lalu" ucapnya yang sama sekali tidak kumengerti. Belum sempat bertanya, beliau memotongnya dengan terus berbicara.

"Jangan sampai kau menyesal karena keegoisanmu, nak. Itu sama skali tidak baik!"

Aku menganga tak percaya atas apa yang ia tuduhkan. Kali ini tatapannya melembut seraya beralih mengelus perutnya yang rata dan tersenyum pedih.

"Dulu sekali waktu aku seusia dirimu, aku terjebak dengan pergaulan bebas dan hamil diluar nikah. Orang tuaku malu dan memarahiku habis habisan hingga aku diusir dari rumah, aku tidak terima dan sempat menaruh dendam pada keluarga yang telah membesarkan ku dengan baik. Aku luntang lanting dijalanan, tidak makan dan tidak tau mau tidur dimana hingga aku memutuskan menggugurkan kandunganku"

Aku menganga mendengar ceritanya tapi tak berusaha menanggapi. Membiarkan beliau menyelelsaikan keluh kesah akan ceritannya.

"Dua minggu setelah aku menggugurkan kandungan itu, aku mendapat tawaran bekerja di sebuah club malam sebagai pela**r. Kau tau apa yang kulakukan? Aku berfoya foya dan membeli barang dengan harga fantastic. Sampai ketika aku terlibat hutang yang besar dan terus dikejar dekoleptor untuk melunasinya. Kau tau apa yang terjadi? Ayah ku datang menemui ku dan memohon ampun atas kesalahannya, demi aku dia menjual satu satunya ginjal yang ia punya untuk melunasi hutang ku"

Kali ini aku terkejut, maksudnya satu lagi ginjal?

"Apa ayah ibu hanya punya satu ginjal?" Tanyaku penasaran

"Iya, ginjalnya yang satu lagi ternyata telah ia jual untuk pengobatan ibuku yang ternyata menderita kanker selama 5 tahun dan aku sama sekali tidak mengetahuinya, bahkan saat beliau meninggal aku tidak tau menahu. Aku benar benar anak durhaka!! Sebulan setelah menjual ginjalnya, ayahku meninggal dunia karena tidak dapat menahan sakit lagi. Aku memang seburuk itu dan sampai sekarang aku sama sekali belum menikah karena setiap pria yang kutemui tidak pernah mau menerima kekuranganku"

"Memangnya apa kekurangan ibu?"

"Setelah menggugurkan kandungan ku dahulu, rahimku bermasalah dan diharuskan untuk diangkat sehingga aku tidak bisa mmpunyai keturunan lagi"

Tanpa sadar air mataku menetes mndengar cerita beliau, pantas ibu ini terlihat lemah dan rapuh. Dia hidup sendirian karena kesalahan masa lalunya yang kelam. Aku tidak membayangkan kisah ibu ini terjadi di keluargaku karena keegoisanku yang hanya mau menang sendiri.

Lama kami terdiam dengan pemikiran masing masing sampai ketika si Ibu mengangsurkan sebuah jaket hitam kearahku. Aku mengernyit namun tetap menerima pemberiannya.

"Pakailah, aku tidak mau melihat mayat yang mati kedinginan malam ini" ujarnya datar yang membuat mataku melotot sempurna. Perkataan ibu ini memng benar benar luar biasa menyakitkan.

"Terimakasih... Akan saya kembalikan lagi kepada ibu" jawabku sembari tersenyum.

"Silahkan, jika kau bisa menemukanku" Lagi lagi aku melotot mendengarnya, kali ini dengan reflek aku bergerak menjauh dari sisinya dengan sorot ketakutan. Apa maksud jika aku bisa menemukannya itu? Ibu ini bukan hantu kan?

"Dasar anak nakal" aku meringis kala beliau menoyor kepalaku dan bangkit dari tempat duduknya. Di tengah kesunyian malam, si ibu membuka payungnya untuk melindungi dirinya sendiri dari derasnya hujan. Aku bergidik ngeri dengan wajah pucat pasi, visual ibu itu memang tidak menyeramkan, tapi kedatangan dan kepergiannya yang tiba tiba membuatku mampu merapalkan ayat kursi ditempat.

**

"Dasar jalang...." Setelah mengatakan itu, samuel pergi dari hadapanku dan keluarga kami yang berdiri di teras rumah dengan mata mengintimidasiku. Ya, aku memilih kembali ke rumah berkat ibu hantu tadi.

"Bang" cicit Shanon protes mendengar kalimat sinis Samuel kepadaku. Aku menunduk takut dipandangi seintens itu oleh mereka, mama dan papa hanya diam tak berkutik namun mata mereka tidak bisa berbohong. Tersirat kekecewaan dan kemarahan di sana.

"Masuk!! sebentar lagi pernikahanmu akan dilaksanakan" ucapan mama bagaikan petir disiang bolong. Di tengah malam begini dia mengatakan pernikahanku, demi tuhan dengan siapa aku menikah? Tidak mungkin Mario kan?

"Maksud mama?" Tanyaku takut, terlebih melihat kilatan matanya yang sangat menakutkan.

"Masuk Selena!!!" Bentak papa murka. Tubuhku menegang karenanya, tanpa berkata apa apa aku berlari memasuki kamar melewati Samuel yang berdiri di dekat sofa ruang tamu.

"Kau pantas mendapatkannya" gumam Samuel ketika aku lewat di depannya.

Setibanya di kamar, tubuhku terdududuk dengan air mata mengalir deras. Aku tidak bisa menyalahkan siapa siapa, ibu ibu itu benar. Hidupku benar benar hancur dan aku tidak berhak menyesalinya. Aku bodoh! Benar benar bodoh, bodoh karena aku menanamkan dendam pada keluarga ku sendiri. Maafkan saya, Ibu hantu.... Tampaknya saya benar benar mengikuti jejakmu.

-

Tubuhku menegang sempura saat keesokan harinya aku melihat sososok pria yang akan menjadi calon suamiku itu. Aku ingin berlari tak terima dengan kenyataan ini, namun mama malah menarikku sedikit menyeretku ke arah pria itu.

"Pak Satria!"

Tanpa sadar aku memekik begitu sampai di dekatnya, pria itu melihatku sejenak sebelum memalingkan matanya lagi. Beliau menagabaiakanku!!

"Yang sopan Selena! Duduk dan diamlah" murka papa yang membuat ku langsung tetduduk ditempat, tepatnya disebelah mama yang hanya diam sdari tadi.

"Saya terima lamaran anda, pak Satria"

Aku menegang mendengar kalimat papa, aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan tapi aku yakin syakin yakinnya lamaran yang dimaksud berhubungan dengan diriku. Aku menoleh pada mama, namun bukan penjelasan yang kudapatkan melainkan tatapan tajam yang sarat akan kemarahan.

"Maksud papa apa?" Tanyaku lirih.

"Kau tidak berhak bertanya" suara sinis yang lagi lagi sangat kukenali terdengar tak jauh dari tempatku. Tanpa menolehpun aku tau itu suara Samuel.

"Dokter.... Maksud kalian semua apa?"

"Saya akan menikahi kamu"

T.b.c

SELTRIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang