Aku gugup setengah mati begitu sampai di dalam kamarku yang sekarang disulap hingga menjadi suasana romantis. Kelewat romantis malah, aku bisa bilang ini lebay banget karena dimana mana terdapat lilin aroma terapi dan kelopak bunga mawar yang memenuhi ranjang putihku.
Ceklek
Dadaku berdegup kencang saat mendengar suara pintu yang ditutup dari dalam. Langkah kaki perlahan mulai mendekat membuat tubuhku menegang sempurna. Aku tidak berani berbalik meski aku tau siapa yang saat ini tengah melangkah.
"Mandilah dulu, saya mandi sesudah kamu" ucap sebuah suara berat yang menyapa gendang telingaku.
Kedua tanganku menyatu di depan tubuh, memilin seraya mengatur nafas yang kian tidak terkendali ini.'Apakah kami akan melakukannya?'
'Secepat itu? Aku belum siap'
"Ele, kamu dengerin saya?" Oh tuhan, kali ini dia memegang bahuku dari belakang.
"I--ya, sa--ya masuk dulu" sial, kenapa aku berubah gagap begini?
Sedikit terbirit, aku bergegas menuju kamar mandi dan tanpa sadar menutup pintunya dengan sangat kencang. Lama lama aku bisa mati berdiri jika terus diserang seperti ini.
Butuh waktu lama aku berada di kamar mandi, dan yang perlu kalian ketahui aku bahkan belum menyentuh air sedikitpun. Mataku tetap fokus memandang kedepan, kearah sebuah kaca westafel yang menampakkan rupa wajahku.
Merah merona seperti kepiting rebus.
"Butuh berapa lama lagi kamu didalam?" Suara berat pria yang resmi mnjadi suamiku itu menggelegar sambil mengetuk pintu dari luar.
"Kamu bisa sakit" ujarnya khawatir.
"Se--bentar lagi a--ku siap" sungguh jika Bianca dan Nindy melihat ku yang seperti ini, aku sudah pastikan mereka akan menggelepar tertawa di atas lantai.
Sesungguhnya aku bukan gadis malu malu kucing yang akan gugup jika berada didekat lelaki. Di kampus, kebanyakan temanku adalah seorang pria selain Bianca dan Nindy.
"Jangan lama lama, nanti sakit" lanjutnya. Tanpa sadar aku mengangguk bodoh mengiyakan permintaannya itu, tentu saja dia tidak melihatnya.
"Selena?"
"Iya, dokter" Terdengar kekehan dari luar sana begitu aku selesai menjawab dengan nada kesal dan tegas.
"Bahkan setelah menikah, istriku masih memanggilku dokter" Ucapnya yang sangat bisa kudengar karena demi apapun pak tua itu meninggikan nada suaranya.
***
"Mama?" Alesya duduk disamping mamanya yang terlihat berpikir keras di depan sebuah televisi yang menyala.
"Mama tidak apa apa?" Ucap gadis itu khawatir. Amanda menoleh sekilas kepada Alesya dan kembali melanjutkan kegiatan melamunnya.
"Mama jangan begini, jangan buat Chaca menjemput papa di rumah wanita rubah itu" sedikit geram, Alesya mencengkram bahu mamanya
agar wanita yang melahirkannya itu merespon perkataannya. Namun nihil, Alesya kembali menerima keterdiaman dari sang mama."Mama, Chaca mohon mama bicara" gadis itu perlahan turun dari sofa dan bersimpuh di pangkuan Amanda. Seketika hatinya tercubit begitu melihat bekas air mata di pipi mulus ibunya. Inilah yang ditakutkannya, ibunya lah yang tersakiti pada akhirnya.
"Jangan menangis, mama..." Lirihnya seraya menenggelamkan kepala pada pangkuan Amanda. Isakan itu semakin deras terdengar, bahkan Alesya merasakan pipinya basah oleh sesuatu yang jelas ia tahu berasal dari mana. Dalam hati gadis itu bertekad untuk membalas setiap perbuatan yang mama tirinya lakukan. Selena Gressia Abraham.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELTRIA
Romance[NEW COVER] Wajib Follow sebelum baca✨️ ××× Dia Selena, gadis belia yang harus merasakan ketidak-adilan dalam hidupnya. Semuanya kacau berantakan karena sedari awal dia sudah salah dalam memilih, namun ketahuilah bukan hanya itu saja keadaan terburu...