"Lo seperti orang gila tau nggak?" Kata Bianca sambil menyeruput jus jeruk miliknya. Nindy yang sedang asik asiknya membalas pesan dengan teman kencannya segera mengangkat wajahnya demi menatap wajahku. Ikut penasaran dengan apa yang di katakan Binca barusan.
"Iya, lo benar Bi! Gue lihat akhir akhir ini El sering ngelamun dan berbicara sendiri di depan toilet" balas Nindy ikut serta. Aku menatapnya tajam sambil memasang raut penuh ancaman. Kenapa bagian bicara di depan toilet harus di jelas jelasin sih?
"Apa semua tentang Rio?" Tanya Bianca.
Tanpa segan aku mengangguk pelan. Percuma juga aku bohong, toh mereka lebih mengenal diriku lebih dari apapun selama ini.
"Lo bodoh atau gimana sih El? Rio aja bisa bahagia, lo malah meratap disini" ujar Bianca lagi. Aku yang mendengarnya hanya bisa diam tak berkutik, cukup tahu diri kalau aku ternyata sangat bodoh karena telah mengharapkan seseorang yang tidak mengharapkan kita lagi.
"Lo bisa ngomong gitu, Bi, karena lo gak ngerasain apa yang gue rasain. Gue tahu lo gak buta gimana hubungan gue dan Rio selama ini?" Jawabku pelan, berusaha menyembunyikan wajah sedihku di antara lipatan kedua lengan ku yang bertumpu di meja kantin. Nindy yang hanya menjadi penyimak langsung mengusap bahuku dengan pelan berusaha untuk menenangkanku.
"Kita selalu ada buat lo, Selena" ucapnya prihatin.
***
Ini gelas kesekian yang kuminum. Terasa pahit dan nikmat disaat yang bersamaan. Aku sangat suka berada di tempat ini, tempat dimana beban pikiranku selama ini serasa terangkat habis. Ya, aku sekarang berada di club. Aku sendiri tanpa Nindy dan Bianca tentu saja, asal kalian tahu kedua sahabatku itu tidak segila diriku yang hobi membuat onar. Mereka anak yang patuh dan taat, sangat kontras dengan diriku yang pembangkang.
Entah apa yang terjadi hingga dua gadis itu mau berteman denganku?
"Satu lagi, Bran!" Perintahku pada seorang bartender yang lumayan dekat denganku. Pria tampan dengan garis wajah bule itu mendekat dan menatapku khawatir, dia memandang gelas gelas kosong yang berada disekitarku sambil menggeleng pelan.
"Tidak ada satu lagi, El! Itu yang terakhir, aku malas berurusan sama orang mabuk malam ini" ujarnya datar sebelum benar benar meninggalkanku yang benar benar ingin mengeluarkan kalimat protes padanya.
"BRANDON!!!!" teriak ku spontan hingga seluruh pasng mata mengarah kepadaku. Mereka menatapku aneh dan marah disaat yang bersamaan karena aktivitas mereka harus terganggu karena ulahku. Rupannya suara bernada tinggi milikku telah berhasil mengalahkan suara dentuman musik di tempat ini.
"Hi cantik! Mau om temanin?" Seorang pria paruh baya yang terlihat genit dan mesum duduk disebelahku, tangan nakalnya telah berani mengelus lenganku yang terbuka lebar malam ini. Aku berusaha menepisnya dan mengeluarkan kata kata kasar, namun dia begitu kekeuh dan malah mengencangkan cengkramannya.
"Jangan sok jual mahal!! Mau dibayar berapa kamu?" Ucapnya dengan nada yang meremehkan membuatku langsung naik pitam dengarnya.
Plakkk
Pria itu terkejut setelah menerima tamparan keras di bagian pipi sebelah kananya, desisan marahnya terdengar hingga membuatku langsung menciut seketika. Saat hendak kabur, tanganku malah dicekal kasar dan diseret olehnya. Aku menangis dan mencoba menghalangi tubuhnya yang sekarang malah berusaha menciumku.
"Lep--hmm--as--!!" Ucapku susah payah karena terus menggeleng kekanan dan kekiri untuk memenghindari ciuman menjijikkan darinya. Beberapa kali, bibirnya berhasil mendarat di rahangku yang membuatku menggeram tak terima. Aku terus meronta dan dia malah menamparku dengan kuat. Bukan sekali, tapi berkali kali hingga membuat pipiku mati rasa kerenanya.
Hingga akhirnya...
Bughh
Bughh
Bughh
Hantaman dan jeritan terdengar begitu kuat setelah pelukan pria paruh baya itu terlepas dari tubuhku. Mataku tertutup erat, enggan melihat kejadian yang sebenarnya. Lama aku berada di posisi tersebut, hingga sebuat tangan menarikku kasar dan menggiringku keluar dari tempat terkutuk itu.
Tanpa bisa mengatakan apapun aku hanya bisa mengikuti langkah sang penyelamat itu, aku benar benar berterima kasih padanya. Pada abangku sendiri. Samuel!
Langkahnya terhenti ketika kami telah sampai di parkiran klub.
"Bang, maaf. Aku---"
Plakkk
Aku terkejut setelah menerima tamparan tersebut. Rasanya sakit seakan akan pipiku akan lebam karenanya. Aku menangis pelan dan terduduk di lantai parkiran, mengusap usap pipiku dan menghapus kasar darah yang mengalir di sudut bibirku.
"ABANG NAMPAR EL, IYA?" Bentakku marah.
Plakk
Aku terdiam sejenak berusaha mengartikan semua ini. Mabuk yang kurasakan akibat banyak minum tadi terasa hilang sepenuhnya. Sekarang hanya tinggal perasaan sedih, marah dan kecewa di relung hatiku. Dia bukan pahlawanku tapi dia adalah monster yang sesungguhnya malam ini.
Bolehkah aku berharap lebih baik diperkosa saja, dari pada di siksa oleh kakak laki lakiku sendiri?
"Sakit hiks.. hiks"
"Lo sialan Samuel!"
"Bangsat"
"Anj**g"
Aku menutup mataku erat saat melihat tangan Samuel hendak terangkat lagi. Tangan itu sebentar lagi akan mendarat di pipi ku untuk kesekian kalinya. Tapi, setelah sekian lama ku malah tidak merasakan apapun. Hanya perasaan hening dengan suasan mencengkam. Perlahan aku mengumpulkan keberanian untuk membuka mataku dan demi tuhan aku langsung terkejut di tempat.
Di depanku, telah berdiri seorang pria yang mencekal erat tangan bang Samuel di udara. Matanya menyorot tajam dan mengancam membuat bang Samuel langsung menurunkan tangannya dengan perlahan.
"Dokter?" Bingung bang Samuel menatap tak percaya pada pria itu.
"Apa kamu senang menampar adikmu sendiri?" Tanya dokter Satria tajam, menatap dalam tepat di pusat mata kakak laki laki ku itu. Entah apa yang merasuki ku saat ini, aku malah berjalan pelan di belakang punggung dokter Satria. Tingkahku yang seakan hendak mencari perlindungan darinya.
"Dokter ngapai disini?" Tanya bang Samuel berusaha menampik aura permusuhan yang diberikan dokter tampan itu.
"Saya hanya sekedar lewat dan tidak sengaja melihat kalian" jawabnya tenang.
Bang Samuel mengangguk mengerti dan kembali melirik kearahku. Matanya kembali tajam dan sinis apalagi melihat tingkahku yang berlindung di belakang tubuh dokter Satria.
"El, pulang!!" Perintah Samuel tegas. Aku menggeleng kuat menjawabnya, pipiku masih terasa sakit dan sangat tidak baik jika pulang bersama iblis satu itu.
"Selena! Ayo pu--"
"Sam, maaf, jika saya terkesan ikut campur, tapi tampaknya adikmu tidak ingin bicara denganmu untuk saat ini" ucap dokter Satria setelah memotong perkataan Samuel. Tanpa sadar aku menghela nafas lega mendengar pembelaan dari dokter yang membuat Samuel langsung terdiam ditempat.
"Maaf dok, tapi saya harus membawanya pulang malam ini" jawab Samuel kekeuh.
Dokter Satria melihat ke arah belakang, tempat dimana aku berlindung di balik punggung kokohnya. Aku menggeleng keras sebagai kode jika aku tidak ingin pulang bersama Samuel.
"Biarkan saya yang mengantar nya, Sam" putus dokter Satria akhirnya.
"Tapi dok?" Samuel masih saja membantah.
"Saya ingin ikut dokter sekarang" ucapku setelah sekian lama terdiam. Bang Samuel memandangku tak habis pikir dan pak dokter yang kini tengah terdiam sembari menatapku.
T.b.c

KAMU SEDANG MEMBACA
SELTRIA
Romance[NEW COVER] Wajib Follow sebelum baca✨️ ××× Dia Selena, gadis belia yang harus merasakan ketidak-adilan dalam hidupnya. Semuanya kacau berantakan karena sedari awal dia sudah salah dalam memilih, namun ketahuilah bukan hanya itu saja keadaan terburu...