New Family

7.2K 368 15
                                    

Saat ini kami sekeluarga tengah makan bersama, suasananya ramai karena berisi seluruh keluarga besarku dan keluarga besar Pak Satria. Aku bahkan heran, seberapa besar rumahku hingga bisa menampung seluruh keluarga yang segini banyaknya?

"Heh melamun aja, tuh ambilin mas mu makanan" Mama menegurku dengan suara keras sehingga membuat semua orang tertawa tak terkecuali pak Satria sendiri.

"Belum terbiasa kali jeng, maklum" aku menoleh sedikit pada si pembicara kali ini, aku kenal wajahnya. Kalau tidak salah dia kakak iparnya si dokter, tante Airah. Orang yang dulu ikut andil dalam pertemuan kali pertamaku dengan suami dadakan ku ini.

"Hehe i--ya tante" ujarku gugup. Kembali semua orang tertawa mendengarnya, apa lagi yang salah?

"Kok masih manggil tante sih, sayang? Satria aja panggil teteh, kan kita udah jadi  ipar" balasnya geli.

Aku terdiam. Sungguh diam tak berkutik. Biarkan semua orang tertawa hingga sakit perut, yang jelas aku benar benar ingin muntah kali ini.

Kakak ipar apanya? Orang usianya hanya 3 tahun di bawah mama. Kumohon bangunkan aku sekarang! Ini tidak benar, sama sekali tidak benar. Kalau begitu, suami tante Airah yang bernama Om Bastian aku panggil apa?

"Bang Bas, suruh istrimu diam! Istri ku jadi malu tuh"

Mati saja kau Selena!! Teteh dan abang...... Hahahahaha

"Satria, apa Amanda dan Chaca udah kamu hubungin? Semalam mami nelfon gak diangkat" saat suasana kembali hening, ibu mertuaku bertanya yang sukses membuat ku membeku ditempat. Topik ini mulai sensitif.

"Udah Satria hubungi tapi gak diangkat juga mi" balas pak Satria.

"Mami khawatir sama Chaca.. Atau lebih baik kamu pulang aja sekarang, mami gak tenang ini" Jawaban ibu mertuaku yang berumur 60 tahun itu membuat semua orang melotot menatapnya.

"Mi, kok gitu sih? Selena--"

"Mami khawatir sama mereka Bastian" potong mami Erlin yang langsung membuat om Bastian diam.

Suasana berubah canggung, aku tidak menyangka ibu mertuaku menyinggung topik sesensitif ini, disaat tengah makan dan didepan seluruh keluarga.

Kulihat mama dan papa diam saja, di wajah mereka nampak jelas ketegangan apalagi di wajah bang Samuel. Rasanya aku ingin berteriak di depan mereka semua yang berkumpul disini, dengan lantang aku akan mengatakan.

'Kenalin gue Selena Gresia Abraham, Seorang jalang yang merebut suami orang"

Dan untuk pertama kalinya aku akan melihat ekspresi seluruh keluargaku begitu mendengarnya. Apakah senyum mereka tetap selebar itu? Tubuhku menegang sempurna begitu merasakan genggaman tangan  seseorang di telapak tanganku, begitu erat dan serasa pas. Aku menoleh kesamping dan menemukan pak Satria yang tengah tersenyum menenangkan.

"Mi, nanti Satria coba hubungi lagi ya" bapak bapak satu ini mencoba menenangkan ibunya, terutama mencoba menormalkan suasana canggung yang terjadi.

Dan syukurlah mami Erlin mengangguk mengiyakan. Aku terenyuh menyaksikan apa yang terjadi, mami Erlin begitu menyayangi menantu dan cucunya. Apakah beliau akan berperilaku serupa terhadapkuku? Ah, rasanya tidak mungkin....

---

"Maafin ucapan mami tadi ya?" Aku tersenyum maklum dan mengangguk mengiyakan. Pak Satria memelukku dari belakang sehingga pemandangan romantis ini begitu jelas tergambar pada cermin hias di depanku. Pria ini tampan, sangat malah. Rahangnya kokoh dengan hidung mancung dan bibir tipis yang sangat memukau. Kulitnya putih bersih, sangat lembut untuk ukuran seorang pria. Bahkan aku masih merasa asing saat beliau mengoleskan krim malam sesaat sebelum tidur. Punya suami pakar kesehatan memang benar benar luar biasa.

"Aku penasaran, bagaimana ibu pak dokter menyetujui pernikahan ini? Jelas jelas dia sangat menyayangi bu Amanda" tanyaku penasaran. Pria itu tersenyum manis tetapi sama sekali tidak mengeluarkan suara.

"Apa karena hanya ingin aku melahirkan cucu untuknya?" Kurasakan tubuhnya menengang sempurna sebelum aku tertawa lepas.

"Becanda, dok. Di novel novel kan sering begitu, istri kedua ya gunanya untuk memproduksi"

"Language, Selena" tegurnya tidak suka.

Perlahan aku mengendurkan pelukannya di perutku dan berbalik menatapnya. Aku mengelus jambang tipisnya dengan gerakan lembut dan tanpa sadar aku tersenyum sinis begitu melihat ekspresi menikmati dari matanya.

"Aku gak bodoh, dokter. Aku tau posisiku seperti apa, meskipun aku tidak tau apa alasan bapak menikahiku, yang jelas karena keegoisan bapak kita semua hancur"

"Hidupku hancur, keluarga bapak juga ikutan hancur. Semuanya"

Setelah puas melihat keterkejutannya, aku berbalik memunggunginya dan melanjutkan kegiatan ku yang tertunda. Mengoles skincare ke seluruh bagian wajahku.

"Kamu tahu, mas tidak mungkin melakukan itu"

"Melakukan apa?"

"Yang kamu sebutkan barusan.  Menghancurkan kita semua"

"But, you do it"

"Selena!!" Bantahnya dengan nada sesikit tinggi. Aku mengedikkan bahu acuh untuk kemudian berusaha menulikan telinga mendengar ocehannya.

***

Hari minggu biasanya kulalui dengan tidur hingga menjelang siang untuk sekedar melupakan masalah perkuliahan yang kian menyita waktu dan pikiranku. Minggu pagi biasanya aku tidak perlu mendengar teriakan orang orang untuk membangunkanku karena pada nyatanya tidak ada yang berani melakukan itu. Mereka tahu dan mengerti aku butuh itu. Tentunya jika mama sedang berbaik hati untuk tidak mengomeliku hingga telingaku serasa panas.

Namun, itu dulu..... Tepatnya berbulan bulan yang lalu ketika aku masih berstatus lajang. Sekarang, jangan harap itu menjadi rutinitasku lagi karena pada akhirnya aku di tuntut untuk bangun shubuh sebelum seluruh penghuni rumah masih bergelung nikmat di ranjang mereka.

"Itu potongannya terlalu besar.."

Aku menghela nafas lelah begitu mendengar celotehan ibu mertuaku unuk kesekian kalinya? Hell, di rumah ku bahkan potongan kentang ini masih terlalu kecil.

"Iya, mami" dan pada akhirnya aku hanya bisa mengangguk pasrah dan mengiyakan permintaannya.

Aku mengumpulkan kembali kentang yang tadi aku potong untuk dipotong menjadi 2 bagian seprti keinginanya itu. Namun,..

"Ya ampun, itu kecil benget!! Kamu bisa gak sih masak?" Omelnya lagi yang demi tuhan sangat mirip dengan omelan oma ku. Ops bahkan usianya pun hampir sama sih dengan oma Ratih.

"Ya ampun mi, tadi bilangnya terlalu besar. Uda aku kecilin kok--"

"Kamu membantah mami?"

Jika saat ini aku tidak mementingakan sopan santun dan rasa segan, aku sudah melemparkan potongan sayur sialan ini kedalam tong sampah. God, betapa cerewetnya ibu mertuaku ini. Kesabaranku telah menipis sejak seminggu yang lalu aku pindah ke rumah yang dibelikan dokter Satria khusus untukku. Rumah minimalis yang sangat cocok untukku, jika saja mak lampir ini tidak ikut tinggal disini mengangguku. Durhaka? Bodo amat.

"Maaf mi" Pengecut! Ya itulah aku yang sekarang. Di depan teman temanku aku bisa menjadi sangat kasar dan berandalan, namun didepan mami Erlin aku menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Sumpah serapah yang kusiapkan untuknya malah tertahan di tenggorokanku, yang kukeluarkan hanya kata kata manis sialan ini.

"Jangan manja jadi istri! Kamu dinikahi bukan untuk di jadikan bayinya Satria. Setidaknya jadilah berguna untuk urusan perutnya"

Tahan Selena!!

"Suamimu itu terbiasa dimanja sama keluarganya, bahkan setelah hidup dengan Amanda dia juga selalu di layani dengan baik oleh wanita itu"

Oke Selana, Sabar!!

"Dasar bodoh, untuk apa anak itu menikah lagi jika harus seperti ini?"

Sialan!!!

***

Maaf jika kalian mencari karakter istri kedua yang berwatak lemah lembut dan selalu mengalah, cerita begitu bukan disini tempatnya ya, sayang.. :-)

SELTRIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang