Pagi ini, matahari tak menunjukkan kehadirannya, membuat langit terljhat seidkit gelap. Sepertinya, hujan akan turun.
Gavin bergegas pergi ke sekolahannya untuk menemui Sheila. Gavin pikir, ia perlua berjuang untuk cintanya. Daripada ia harus gila memikirkan hal yang selalu menghantui pikirannya.
Gavin berdiri di depan gerbang, dan menunggu Sheila disana.
Sheila pun mulai terlihat, ia sendirian. Dengan raut wajah yang terlihat lesu. Membuat Gavin sedikit terenyuh. Badan yang mulai terlihat kurus. Gavin semakin merasa bersalah.
"Sheila!" panggil Gavin saat Sheila melewatinya begitu saja. Bukannya Sheila tak mau bertemu Gavin, cuma Sheil gak ngeliat kalo Gavin ada disana.
Sheila terdiam di tempatnya. Ia sangat kenal dengan suara itu. Suara yang selalu Sheila rindukan. Namun di satu sisi, Sheila sangat kecewa dengan pemilik suara itu. Jadi, Sheila memilih untuk melanjutkan langkahnya. Menghiraukan panggilan Gavin.
Gavin langsung mengejar Sheila. Dikala sudah merasa dekat, Gavin berusaha memegang tangan Sheila dan menahannya.
"Gue mohon dengerin penjelasan gue dulu." ucap Gavin. Ia tak peduli jika sekarang mereka jadi pusat perhatian murid-murid yang lewat.
"Gak ada yang perlu dijelasin, semuanya udah jelas. Gue kecewa sama lo vin. Banget." ucap Sheila yang masih setia memunggungi Gavin.
"Itu juga bukan kemauan gue Shei. Gue tau gue salah. Salah banget udah ngambil keputusan yang sekarang."
"Baru sadar sekarang? Selama ini kemana aja?" sindir Sheila. Ia mencoba mengatur nafasnya yang memburu.
"Shei, gue--"
"Lo ninggalin gue gitu aja tanpa alesan yang jelas? Lo bikin gue nunggu selama empat bulan ini, berharap lo bakalan datang dan balik sama gue. Tapi, setelah lo dateng. Entah kenapa rasa kecewa gue dateng lagi." Jelas Sheila yang membuat Gavin tercekat. Sheila membalikkan badannya dan menatap Gavin. Tatapan sayunya membuat Gavin sedih.
"Lo kemana Empat bulan ini? lo gak ada niatan sama sekali nemuin gue. Lo pergi dan gue gak tau lo pergi karena apa Vin. Lo udah gak sayang sama gue? Bilang. Gak usah langsung pergi kaya gitu. Kita udah sama-sama dewasa Vin."
"Kalo lo mau putus, oke. Sekarang kita putus." ucap Sheila membuat Gavin terkejut bukan main.
"Shei jang--"
"Apa? Lo seneng kan kita putus? Gue harap lo bahagia Vin." ucap Sheila membuat Gavin tersenyum getir.
"Shei--"
"Apa lagi? Gue balikin barang-barang yang lo kasih pas pulang se--" Telunjuk Gavin menekan bibir Sheila, menyuruhnya untuk diam sebentar.
"Kasih gue sebentar aja buat ngomong Shei." pinta Gavin, ia menurunkan lagi telunjuknya.
"Segitu kecewanya lo sama gue Shei? Lo bahkan gak mau dengerin penjelasan gue. Kalo untuk putus, kalo itu mau lo oke gue turutin Shei. Dan buat barang-barang yang gue kasih, gak usah lo balikkin. Itu udah jadi hak milik lo. Itung-itung kenangan terakhir dari gue." Gavin tersenyum, Sheila malah menangis. Dan, Hujan malah turun.
"Gue minta maaf ninggalin lo tanpa alasan. Tapi, gue harap, lo bisa jaga diri lo Shei. Karena nanti gue gak bisa jagain lo lagi." ucap Gavin dengan tangan mengusap pipi Sheila yang mengeluarkan air mata disaat hujan.
"Ah gue jadi flashback, dulu kan lo pernah hujan-hujannan terus pingsan. Gue nolongin lo yang pingsan dan bawa lo ke rumah gue. Itu awal kita deket kan Shei? Tapi sekarang, hujan ini sebagai awal perpisahan kita." Gavin kembali tersenyum. Ia memeluk Sheila sebentar, lalu melepasnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT [Completed]
Teen Fiction[Private Acak, Follow dulu sebelum add cerita ini ya, Maafin] "Biarin gue galak, jutek, dingin. Bukan masalah lo juga kan!?" - Sheila Anastasya "Lo Jutek, gue suka. Lo beda dari cewek-cewek biasanya." - Gavin Putra Bramantyo. Enjoy with my story guy...