54

218 27 4
                                    

Gema benar-benar pergi dari rumah Genta. Sangat berat rasanya bagi Gendis untuk melepas Gema dari rumahnya. Gendis khawatir kalau Gema kembali ke rumahnya, Gema akan dilanda masalah. Makanya, Gendis juga berpesan pada Gema dengan pesan yang sama yang Genta katakan tadi malam. Yang intinya, pintu rumahnya selalu terbuka untuknya.

"Terima kasih semuanya, sudah merawat dan menjaga adik saya dengan baik. Saya benar-benar nggak tau harus membalas kebaikan semuanya dengan apa. Hanya Tuhan yang bisa." Gema harus mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali melihat Gesang berbicara seserius itu. Wah, kabur membuat Gesang bisa lebih baik dalam beretika ya?

Gendis dan Gilian saling berpelukan. Benar-benar sedih sekarang juga harus merelakan Gema kembali ke tempat seharusnya Gema berada. Di samping kedua perempuan itu, berdiri tiga laki-laki yang tampak lebih tegar. Siapa lagi mereka kalau bukan Guntur, Garang dan Genta.

"Ini bukan perpisahan selamanya kok, ini hanya sementara." Mata Gema mulai berkaca-kaca menatap anggota keluarga itu satu per satu. "Makasih Tante Gendis untuk kebaikannya, kelembutannya, kehangatannya. Gema pasti bakal rindu sama Tante. Buat Om Guntur juga terima kasih sekali karena udah bersedia nampung Gema disini, ngajakin dinner segala, sekali lagi makasih Om. Gilian, kapan-kapan kita main bareng lagi ya? Kak Gema janji. Makasih juga Kak Garang buat kebaikannya. Kalo Kak Garang nggak nemuin Gema waktu itu, mungkin nasib Gema sekarang nggak seberuntung ini."

Pada orang yang terakhir dia ucapkan terima kasih, Gema tersenyum tulus, "Makasih banyak, Ta."

Selang kurang lebih satu jam, Gema dan Gesang sudah berada di rumah Swarabirama. Sekeluarnya Gema dari mobil Gesang, Gema tidak langsung memasuki rumah itu. Rumah yang dulu terasa hangat, mendadak terasa asing bagi Gema. Rumah yang dulu banyak menyimpan moment-moment menyenangkan, mendadak terasa menyakitkan jika ingat dirinya bukanlah siapa-siapa. Apakah Gema masih pantas menginjakkan kakinya di rumah ini?

"Gema." Panggilan Guruh seketika membuyarkan lamunan Gema. Pria itu sendiri yang membukakan pintu rumah pada Gema, menyambutnya pertama kali dengan wajah senang tiada terkira.

Gloomy Sunday. Memang benar, hari ini terasa mendung bagi Gema. Setelah sedih harus berpisah dengan keluarga Genta, kini Gema harus bersedih lagi melihat Guruh yang terlihat lebih kurus dari terakhir dia lihat.

Guruh berjalan pelan mendekati Gema yang tidak beranjak sama sekali dari tempatnya. Lalu ketika tepat berdiri di depannya, Guruh memeluk anak perempuan itu seraya meluapkan emosinya dalam tangis. "Maafkan Papa, Nak. Papa tidak menjaga kamu dengan baik. Papa benar-benar lalai menjalankan tugas Papa sebagai ayah." Terdengar amat sangat sedih dan menyayat hati serta penuh penyesalan.

Terenyuh hati Gema seketika. Bahkan setelah kejadian itu, Guruh sama sekali tidak berubah. Gema jadi ikut menyesal telah meninggalkan Guruh sendirian karena ketidak tahanannya pada Sabila. "Maafin Gema juga, Pa. Udah ninggalin Papa." Gema membalas pelukan Guruh sambil menangis.

"Udah, udah dong! Jangan melo-melo gini ah! Nggak seru! Ayo kita masuk aja, makan makanan enaknya Bi Jono!" dengan usil, Gesang memisahkan Gema dan Guruh yang sedang berpelukan. Lalu dia merangkul kedua orang itu dan menyeretnya untuk memasuki rumah.

Di ambang pintu, berdiri seorang Bi Jono dengan air mata yang berlinang di pipinya. Mimpi apa semalam dia bisa melihat Gesang dan Gema akhirnya kembali pulang ke rumah.

"Bibiiiii!!!" Gesang maupun Gema sama-sama berlari, menghamburi wanita tua itu dengan pelukan luapan rasa rindu.

Tidak ada yang berubah dari kamarnya meski Gema telah meninggalkannya selama kurang lebih 3 minggu. Iya, selama itu pula dia tinggal bersama Genta di rumahnya. Menciptakan banyak moment menyenangkan dengan anggota keluarganya yang menerimanya dengan amat baik.

GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang