58

253 30 3
                                    

Langit-langit kamar yang berwarna putih polos terus Gema tatap sedari tadi. Sudah ada setengah jam mungkin Gema bertahan dengan posisi seperti itu. Tiduran terlentang di atas ranjangnya, masih dengan seragam sekolahnya.

Bukan tanpa sebab Gema seperti itu. Sejak sepulang sekolah setengah jam yang lalu, Gema terus kepikiran dengan ucapannya sendiri. Ucapan yang telah dia katakan pada Shakeela tadi pagi. Apakah itu terlalu berlebihan? Apakah ucapannya keterlaluan? Apakah ucapannya benar-benar jahat? Padahal kan niat Shakeela mau memberitahukannya, mau pamit!

Astaga, Gemaaaaaa! Gema merutuk dirinya sendiri. Kenapa sih, dia semudah itu terpancing emosi? Padahal menahan bully-an di sekolah saja dia bisa, kenapa mendengar provokasi Shakeela tidak?

Gema berteriak sambil meremas-remas rambutnya. Kesal, bingung, menyesal, semua menyatu jadi satu. Karena teriakannya yang tidak selow, sampai mengundang Gesang untuk datang ke kamarnya.

"Kenapa lo, babi?" tanya Gesang yang muncul sambil membawa camilan. Entah dari mana asalnya kenapa Gesang bisa memanggil adiknya sendiri dengan sebutan hewan itu. Cowok itu melompat ke atas ranjang Gema, lalu dengan seenak jidatnya meluruskan kakinya di atas perut Gema. Kontan Gema menjerit kesakitan.

Gadis itu segera terbangun. Dia memukul-mukul kepala Gesang menggunakan bantal dengan beringas. Di akhir tindak kekerasannya, dia merebut camilan yang Gesang bawa.

"Oi! Dasar penjarah!" sembur Gesang setelah guling-guling lantaran menghindari amukan Gema di atas kasur. Gema cuek bebek menghabiskan camilan Gesang. Lagian sudah tau nafsu makan Gema seperti apa, Gesang ke kamar bawa makanan. Ya ludeslah!

"Nih, nggak enak." Gema menyerahkan kembali camilan yang tadi dia rebut pada kakaknya.

Gesang menerimanya dan wajahnya langsung kesal setelah tau ternyata yang Gema kembalikan hanya bungkusnya saja dengan isinya yang sudah raib. "OIIII, BABIIIII!!!! KEBANGETAAAN LO YAAA?!!!"

Gema hanya tertawa ngakak. Senangnya bisa mengerjai kakaknya seperti ini.

"Oke, oke, sekarang gue mau ngomong serius nih. Buruan bangun!" Gema menarik tangan Gesang agar terbangun dari rebahannya.

"Nggak mau!" Gesang menahan dirinya agar tidak bisa Gema tarik. Dia sudah asyik dengan ponselnya.

"Oke, kalo gitu lo dengerin gue baik-baik."

"Hm." Tatapan Gesang sama sekali tidak beralih dari ponsel.

"Shasha mau pindah. Dia mau balik ke Semarang." Kata Gema serius.

"Oh."

Tentu saja Gema kecewa dengan ekspresi Gesang yang sama sekali tidak menunjukkan keterkejutan sama sekali. "Kok oh doang sih? Lo nggak terkejut? Nggak kaget?"

"Nggak."

"Sang, Shasha mau balik ke Semarang. Balik ke Se-ma-rang." Ulang Gema dengan lebih pelan.

"Ck, kenapa nggak dikirim ke Chernobyl aja tuh. Suruh tinggal di bekas rumah sakit yang sekarang udah nggak kepake." Gema jadi manyun karena tanggapan Gesang. "Terus, Mama mo ikutan nggak?"

"Eh, kok lo tau?" malah Gema yang terkejut sekarang.

"Kan Mama lebih milih hidup sama dia daripada sama kita. Gimana sih lo?"

Gema diam. Menunduk. "Jadi beneran nih, Papa sama Tante Sabila cerai? Beneran Tante Sabila mau ikut Shasha?"

Barulah Gesang mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Dia letakkan benda pipih itu begitu saja di atas kasur. Dia duduk, berhadapan dengan sang adik. Dia menepuk-nepuk puncak kepala Gema cukup keras, "Lo tenang aja. Masih ada gue sama Papa yang bakal selalu ada di samping lo."

GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang