53

223 27 7
                                    

Nafas Sabila terasa sangat berat. Meskipun Guruh sudah meninggalkan café yang berada di hotel tempat Sabila dan Shakeela menginap, Sabila masih bertahan di tempat itu. Kepalanya juga rasanya sama berat. Berat memikirkan apa yang baru saja Guruh sampaikan dengan tegas.

Bersih keras Guruh ingin menceraikan Sabila jika Sabila benar-benar tidak mau melepaskan Shakeela. Namun apabila Sabila mau melepaskan anak itu, maka Guruh akan membatalkan gugatan cerainya itu.

Sabila sempat bertanya, kenapa Guruh bisa setega ini padanya. Membuat 2 pilihan yang sulit. Bercerai atau melepas anaknya sendiri. Saat itu Guruh menjawab, kalau saja sikap Sabila tidak seburuk itu pada Gema, kalau saja juga sikap Shakeela tidak seburuk itu pada Gema, maka Guruh akan mempertimbangkannya untuk tinggal bersama. Bersama Guruh sendiri, Sabila, Gema, Gesang juga bisa jadi Shakeela.

Sabila juga sempat bertanya lagi, kenapa Guruh sebegitu sayangnya pada Gema, padahal Gema bukanlah darah dagingnya. Dengan tegas Guruh menjawab bahwa Gema adalah anaknya, putri satu-satunya meski tidak terikat hubungan darah. Hanya jawaban seperti itu.

Dengan langkah berat, Sabila berjalan meninggalkan café itu, lalu kembali ke kamarnya. Di kamar itu, ada Shakeela yang kondisinya masih memprihatinkan.

Shakeela tidak mau makan apapun sejak semalam. Tidak mau ke sekolah. Tidak mau beranjak dari tempat tidur. Anak gadis itu hanya terus terbaring dengan mata yang basah karena air mata.

Sejenak Sabila menghela nafasnya. Saat ini dia butuh dukungan, tapi melihat Shakeela yang seperti ini, rasanya mustahil dia mendapat dukungan. Shakeela sedang kalut dengan masalahnya sendiri sehingga tidak sempat melihat pada Sabila yang juga sedang bermasalah dengan suaminya.

Tiba-tiba Sabila teringat akan Gema. Anak itu, seberat apapun masalahnya, jika dirinya datang mendekat, pasti Gema akan menerimanya dengan baik. Bahkan membantunya meski bantuannya kadang hanya menjadi sebatas pendengar saja. Memang sih, kadang Gema juga memberikan solusi yang lebih sering konyol dan tidak masuk akal. Akan tetapi, justru itu yang membuat Sabila merasa terhibur dan sejenak melupakan masalahnya.

Mata Sabila berkaca karena tiba-tiba mengingat Gema. Dari mengingat, kemudian timbulah rasa rindu. Dari rasa rindu itu, timbul rasa penyesalan.

Apakah dia memang sudah seburuk itu berbuat pada Gema?

Memang Gema bukan anak kandungnya, tapi Gemalah yang sudah bersamanya selama kurang lebih 15 tahun. Anak itu anak yang jarang mengeluh padanya, yang lebih sering menunjukkan sisi ceria terhadapnya. Anak itu yang paling rajin merawat dirinya ketika dirinya demam atau masuk angin. Anak itu yang berlari paling depan menyambut dirinya yang pulang dari bekerja.

Sayangnya, sejak kedatangan Shakeela, keberadaan anak itu jadi tertutupi oleh Shakeela. 15 tahun kebersamaan dengan Gema seolah menguap begitu saja digantikan oleh Shakeela.

Sabila jadi lebih perhatian dan lebih sayang pada Shakeela dan tanpa sadar tindakan-tindakannya itu melukai Gema. Seolah kurang sakit, Gema masih harus dia sakiti dengan fakta bahwa dirinya bukanlah ibu biologis Gema. Meski itu memang benar, paling tidak Sabila bisa mengatakannya dengan lebih baik.

Menangis. Sabila menangis. Menangisi perbuatannya sendiri pada Gema yang sudah dia sia-siakan. Anak yang sudah dia sakiti bertubi-tubi. Dalam tangisnya, Sabila tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. "Maafkan Mama, Gema... Maafkan Mama..." rintih Sabila sayup namun masih bisa Shakeela dengar.

Sejak pulang bersama Gesang tadi sore, Genta perhatikan Gema jadi lebih banyak diam. Mau tidak mau, kekhawatiran Genta jadi berlanjut. "Gesang bawa berita buruk?" tanyanya ketika mereka sedang duduk di halaman rumah samping bersama Gilian yang sibuk bermain-main sendiri dengan bonekanya.

GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang