34

196 21 3
                                    

"Aaaaaaarrrrrggghhhhh!!!! Gesang sialan! Gesang brengsek! Gesang bego! Tolol! Superlazy boy kebangetan!!!! Gue benci sama lo!!!!" entah untuk keberapa kalinya Gema meneriaki ponselnya sendiri gara-gara dia masih belum mendapatkan pencerahan sedikitpun tentang Gesang. "Abang durhaka! Kakak macam apa! Bisa-bisanya lo nelantarin adek lo sendiri yang imut? Ngebiarin adiknya sendirian! Sungguh tega duhai Gesang!" Gema meremas ponsel di genggamannya. Sengit, kesal, marah. Saat satu-satunya yang bisa dia harapkan ternyata tidak seperti itu. Sungguh mengecewakan. "Keterlaluan!"

Gema menghembuskan nafasnya kasar, lalu duduk begitu saja bersandar dinding luar perpustakaan. Gadis itu menunduk, menatap layar ponselnya yang gelap dengan jempolnya yang mengelus-elus layar itu padahal tidak ada apapun. "Mo kayak bang Toyib sampe kapan?" gumamnya pelan.

Biar tadi dia mencaci maki kakaknya dengan banyak cacian, akan tetapi, sesungguhnya Gema amat sangat merindukan kakaknya di samping dia juga membutuhkannya saat ini. Ya, bisa dibayangkan sudah berapa lama dia tidak bertemu dengan kakaknya itu.

Apakah kakaknya masih mengenalinya? Gema takut jika ternyata Gesang sudah tidak mengenalinya. Akan tetapi, Gema lebih takut kalau terjadi apa-apa pada satu-satunya saudara yang dia miliki.

"Jadi Gesang nggak pernah pulang?"

Gema celingukan mencari-cari sumber suara itu. Tengok ke kanan, tidak ada orang. Ke kiri, juga tidak ada. Ke depan, sama sekali tidak ada orang. Maklum, di jam istirahat begini pasti tempat seperti kantinlah yang ramai.

"Kabur?"

Terdengar lagi. Kali ini Gema mendongak. Matanya melotot melihat ada Genta yang sedang menunduk menatapnya. Cowok itu sedang berada di dalam perpustakaan. Tepatnya berdiri di jendela yang menghadap ke taman belakang perpus dimana Gema berada saat ini. Cowok itu menyangga dagunya dengan satu tangannya selagi satu tangannya lagi memegang sebuah buku tentang statistik.

"Lo ngapain disitu? Nguping?" mata Gema memicing curiga.

"Lo yang tereak kenceng-kenceng sampe kedengeran ke perpus."

"Oh, ya mon maap. Ya udah sana, gue udah nggak tereak-tereak lagi kok." Gema kembali menatap ke arah depan.

Pluk!

"ADAAAWWWW!!" Gema kembali berteriak setelah buku statistik yang sedang Genta baca sengaja dia jatuhkan di atas kepala Gema. Gema kembali mendongak, "Sakit tau! Kalo kepala gue bocor gimana?!"

"Siniin dong, buku gue." Genta mengulurkan tangannya, meminta bukunya yang jatuh untuk kembali.

Gema melirik. Bisa-bisanya dia menyuruh-nyuruh dirinya seperti itu. Karena kesal, Gemapun berdiri sehingga berhadapan dengan Genta. "Lo mau buku ini?" Gema tersenyum licik yang kemudian membuat Genta curiga.

Benar saja, Gema membalikkan badannya kemudian melempar buku itu ke dalam kolam tidak jauh di hadapannya. Genta melotot maksimal.

"Lo?!"

"BU AYAAA! BUKU PERPUS ADA YANG SENGAJA GENTA LEMPAR NIH BU! LEMPAR KE KOL—MMMMPFHHHHT!!!???" dengan cepat Genta membekap mulut Gema yang terus menyerocos itu. Sebab suara Gema tidak main-main. Benar-benar kencang sampai semua anak di perpus menoleh kepadanya. Untung saja tubuh Gema itu mungil, jadi Genta tidak ketahuan sedang membekap seorang anak di dadanya.

Gema meronta, berusaha melepas bekapan Genta dari mulutnya, serta lengan yang melingkari lehernya. Sayangnya usahanya sia-sia, Genta terlalu kuat membekapnya, terlalu dekat hingga kepalanya menempel ke dadanya yang bidang.

Setelah Gema berhenti meronta, barulah Genta perlahan melepas bekapannya. Akan tetapi, dia tidak menarik lengannya agar tetap melingkari leher Gema.

GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang