60

252 31 0
                                    

Gema dan Gesang saling tatap. Siku mereka juga saling sikut. Secara mendadak, Guruh meminta untuk bertemu 6 mata. Kira-kira... apa yang akan Guruh katakan?

"Buruan deh, Pa. Papa mau nyampein apa?" tanya Gesang tidak sabar.

Guruh mengambil nafasnya dalam. Lalu menghembuskannya secara perlahan. Dia menatap Gesang dan Gema secara bergantian, "Gesang, Gema."

"Ya?" Gema mewakili menjawab.

"Papa sudah memutuskan—"

"Yes! Akhirnya Papa udah resmi cerai sama Mama?" potong Gesang bersemangat.

"Sang, bisa dengerin sampe Papa kelar bicara nggak sih?" dengus Gema kesal.

"Iye, iye, Non. Ah." Gerutu Gesang sebal.

Guruh berdehem. "Jadi begini. Gesang, Gema... Papa sudah memutuskan... Papa dan Mama... nggak jadi cerai."

"HAAAAAAH?!!!!!" tentu saja Gesang menjadi orang yang paling kaget.

Gema juga kaget sih, tapi tidak sekaget Gesang. "Nggak jadi cerai?" tanya Gema hati-hati sambil menggigit bibir.

"Papa dan Mama sudah saling bicara. Kami juga sudah banyak berdiskusi."

Gesang berdiri seketika, tidak terima. "Papa maafin perbuatan Mama? Papa masih mau nerima Mama? Wanita yang udah kecewain Papa? Wanita yang udah ngelukai Papa? Wanita yang udah menghianati Papa? Wanita yang udah selingkuh sama pria lain sampe punya anak? Papa masih mau nerima wanita kayak dia? Papa sehat kan? Papa waras kan? Papa nggak sakit kan?"

Gema menarik-narik baju Gesang agar Gesang kembali duduk. Tetapi sepertinya cowok itu terlanjur marah. Dia malah menarik bajunya hingga terlepas dari tangan Gema.

"Gesang, Papa tau, Papa paham, kamu pasti terluka. Kamu pasti kecewa. Kamu pasti marah dan nggak terima. Tapi bagaimanapun, Mama kamu manusia, pasti punya salah—"

"Semua orang emang pasti punya salah, Pa. Tapi sejauh mana kesalahan itu, itu yang ngebedain manusia satu dengan yang lain. Dan kasus Mama, Mama udah salah jauh! Salah besar! Udah durhaka sama suami! Udah dzolim sama anak-anaknya!"

Glek! Gema menelan ludah. Agak gimana sih, mendengar kalimat yang iya benar, hanya saja diucapkan oleh seorang Gesang? Rasanya seperti keajaiban!

Guruh tersenyum. Yang malah membuat Gesang makin kesal dan marah.

"Papa kenapa senyam-senyum? Gesang serius, Pa! Gesang nggak lagi main-main!"

"Terima kasih, Gesang. Kamu benar-benar putra kebanggaan Papa. Papa bangga punya anak seperti kamu—"

"Bodo amat, Pa! Yang penting dan yang jelas, Gesang nggak mau kalo Papa terima Mama lagi!" pungkas Gesang. Dia kembali menghempaskan pantatnya di sofa dengan keras. Nafasnya memburu. Wajahnya dia palingkan ke arah lain agar tidak perlu berhadapan dengan Guruh maupun Gema.

Guruh diam. Senyumnya perlahan sirna. Sudah dia duga, pasti akan seperti ini. Gesang tidak akan setuju dengan mudah.

"Papa," ucap Gema pelan mulai bersuara.

"Iya, Nak?" sahut Papa lembut.

"Kalo emang itu keputusan yang udah Papa dan Tante Sabila buat, Gema bakal ngedukung." Lanjut Gema penuh keyakinan.

Kontan Gesang menoleh cepat padanya dengan kedua mata melebar. "Gem, lo gila ya? Mama yang udah ngebuang lo! Mama yang udah lebih milih anak sialan itu ketimbang kita!"

"Terus kalo sekarang Tante Sabila udah nyesel dan mau memperbaiki kesalahannya, kenapa nggak kita kasih kesempatan? Setiap orang emang pasti punya salah. Tapi setiap orang juga berhak mendapat kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik." Balas Gema membuat Gesang terdiam seketika. "Tolong lo pikir baik-baik, Sang. Tante Sabila berani ngambil keputusan yang sulit itu merupakan suatu keajaiban. Tante Sabila rela berpisah dari anaknya sendiri, Shasha, hanya demi kembali kepada kita. Itu keputusan yang nggak main-main."

GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang