42

184 20 4
                                    

"Shakeela Haris Mahesti anak kandung, Mama!" tegas Sabila.

Gema mematung seketika. Sakit, pasti. Sedih, jelas. Gema seperti sedang kehilangan jiwanya.

Waktu seolah berhenti berputar sesaat kala itu. Gema merasa seluruh dunianya luruh. Seluruh hidupnya hancur.

Matanya yang sedari tadi basah, menatap nanar ke seluruh isi rumah. Kemudian, langkahnya perlahan memundur. Mendadak, Gema merasa tidak pantas berada di rumah ini. Mendadak, Gema merasa ingin menghilang dari rumah ini, dari dunia ini.

"Neng Gema!" Bi Jono yang sedari tadi bersembunyi, sudah tidak bisa lagi menahan dirinya. Terlebih ketika dia melihat Gema berlari cepat keluar rumah. Bi Jono tidak peduli jika dirinya dikata lancang karena sudah menguping pertengkaran majikan dengan anak-anaknya. Bi Jono juga tidak peduli jika nasibnya nanti akan bergulir buruk. Bi Jono hanya tidak ingin kehilangan Gema setelah sebelumnya kehilangan Gesang.

Bi Jono berhasil meraih satu tangan Gema. Bi Jono menahan dan menggenggamnya erat dengan uraian air mata di pipinya, "Jangan pergi, Neng. Jangan tinggalin Bi Jono. Bi Jono nggak mau Neng Gema pergi. Bi Jono mohoooon..."

Gema tersenyum getas. "Gema nggak pantes tinggal disini, Bi."

"Nggak, Neng. Nggak bener. Sampai kapanpun rumah ini adalah rumah Neng Gema."

"Gema bukan anak Mama Sabila, Bi. Bibi tau kan? Dan kalo Gema bukan anak Mama Sabila, artinya Gema juga bukan anak Papa Guruh." Gema menunduk, menangis sedih.

"Neng Gema nggak boleh bicara begitu. Neng Gema—"

"Bi, Gema harus pergi, Bi. Gema nggak mau ada disini." Potong Gema cepat sambil mengangkat wajahnya. Dia mengusap kasar air mata di pipinya meskipun air matanya terus menetes. Gema melepas tangan Bi Jono yang menahan lengannya dengan cukup keras.

"Neng Gema, jangan tinggalin Bi Jono, Neng... Neng... Neng Gema... " tangis Bi Jono kian jadi melepas kepergian Gema meninggalkan kediaman Swarabirama yang telah membesarkannya selama 16 tahun.

Dada Gema sakit karena terus menerus menangis tanpa henti hingga detik ini. Dadanya juga sakit mendapati kenyataan pahit yang harus dia terima mulai saat ini. Sudah dua jam lamanya dia pergi dari rumahnya, berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Seolah langit ikut menyertai kesedihannya, malam ini hujan turun. Gema tidak berusaha mencari tempat untuk berteduh. Lagipula, memang dia tidak punya tujuan kan?

Gadis itupun terus berjalan dengan guyuran air hujan yang makin lama makin deras. Sampai dia melewati sebuah tempat yang entah dia sendiri kurang begitu tau. Yang jelas, dia melewati sebuah ruko kosong. Dimana di emperan ruko tersebut, ada segerombol pereman yang melihat keberadaannya.

Tanpa pikir panjang, gerombolan pereman itu menghampiri Gema sambil membawa payung rusak sehingga tubuhnya yang lumayan berotot tetap basah karena air hujan.

Gema mengangkat wajahnya yang sudah berantakan. Menatap pereman yang berjumlah 4 itu satu persatu.

Melihat wajah Gema yang seperti mayat hidup, membuat keempat pereman itu saling tatap. Mereka jadi ragu dan sedikit takut. Jangan-jangan gadis di depannya ini bukan manusia, tapi setan macam Badarawuhi yang bisa menjelma menjadi gadis cantik.

Masuk akal sih, soalnya sekarang sudah jam 1 malam. Hujan. Jadi agak aneh ada seorang cewek lewat sendirian kehujanan seperti ini di daerah yang memang cukup sepi dan jarang dijamah orang itu.

"Alah bodo amat, mau demit, mau lelembut! Kalo lo pada nggak mau, ya buat gue aja!" seloroh seorang pereman itu langsung menarik lengan Gema dan menggiringnya ke emperan ruko.

GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang