12. Sorry, Ra.

2.7K 202 15
                                    

Meminta maaf adalah sesuatu yang sulit. Terkadang, kita harus mengatakan kata maaf walau kenyataannya kita tidak salah. Tetapi, hal itu membuktikan bahwa kita sudah mampu mengendalikan ego kita.

🌸🌸
______

Amara tak berbicara apapun pada Andra selama seminggu. Semenjak kejadian di rumah sakit, ia sedikit menjauh dari Andra. Walaupun ia tau, semuanya hanya akan sia-sia karena Andra terus menerus mendekatinya.

Seperti sekarang, mereka sedang mengikuti pelajaran Olahraga. Namun, bukannya Andra bermain basket seperti yang lain. Ia malah duduk disamping Amara sembari menatapnya.

"Ra, gue tadi naro susu kotak sama roti di bawah kolong kayak biasa. Tapi kok bentukannya masih sama. Lo nggak nyentuh sama sekali ya?" tanya Andra.

Amara tak bergeming, ia memilih membuka novel yang baru saja ia pinjam kemarin. Ia tak melirik Andra sama sekali, jangankan untuk melirik, berbicara saja rasanya malas.

"Ra, sorry, gue nggak ada maksud ikut campur urusan lo, kemarin. Gue cuma pengen tau. Jiwa-jiwa kepo gue keluar kemaren," ujar Andra menyesal.

Amara menghela napas sembari menutup buku novelnya. Ia sudah jengah dengan tingkah Andra yang terus menatapnya sambil menampakan cengiran kuda yang menurut Amara sangat jelek dan berbicara selirih itu.

Tidak pikirkah Andra jika ia tidak cocok seperti itu?

"Ra, sorry," ujar Andra lagi.

Amara menulikan telinganya, ia meminta izin pada Guru Olahraganya untuk ke UKS karena kepalanya sedikit pusing. Ia langsung pergi tanpa mendengarkan panggilan Sinta dan juga Lula.

Lula menyusul, karena memang kini Amara tinggal bersama Lula. Seharian kemarin Amara memang tampak pucat, namun setiap ditanya, selalu bilang 'nggak pa-pa'.

"Ra, are you okay," tanya Lula saat Amara sedang berbaring.

"Gue nggak pa-pa, La. Cuma pusing," ujar Amara jujur.

"Lo kemana, sih, semaleman. Kenapa bisa pulang malem-malem. Ibu kan jadi marahin lo."

Amara terkekeh pelan, "cari angin. Nggak pa-pa, salah gue juga pulang jam dua belas malem."

"Mendingan lo balik kerumah aja deh. Kayaknya lo sakit deh, Ra."

Amara menggelengkan kepalanya, ia kuat. Jadi untuk apa ia pulang?

"Gue masih harus ikut pelajaran, La, sumpah gue nggak pa-pa."

Lula berdecak pelan, sahabatnya ini memang keras kepala. Baru saja Lula ingin mengatakan sesuatu, seseorang sudah berbicara terlebih dahulu.

"Halo, ada yang bunuh tenaga kesehatan?" tanyanya.

Lula dan Amara sama-sama menoleh. Amara memutar bola matanya malas saat melihat sosok lelaki yang menggunakan baju putih yang di dominasi baju kesehatan sekolahnya.

"Ngapain lo disini?" tanya Amara tidak suka.

"Gue kan mulai sekarang jadi anak kesehatan," ujarnya.

Amara tidak peduli, ia memilih memejamkan matanya. Sedangkan Lula, ia melihat lelaki itu dan sedetik kemudian ia tertawa.

"Lo ngapain jadi anak kesehatan, Ndra? Sumpah ngakak gue."

"Lah, kenapa emangnya? Gue kan cuma mau ngerawat Amara aja. Katanya Amara sakit."

"Harus jadi anak kesehatan dulu gitu?"

"Iya dong, biar nggak salah rawat. Dan lo mau tau? Gue cita-cita jadi Dokter loh."

"Nggak ada yang tanya," ujar Amara sakratis.

DEAR, AMARA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang