19. Jangan lupa senyum

2.4K 202 8
                                    

Hidup itu yang realitas. Bukan bayang-bayang dan halusinasi terus!

🌸🌸

_____

Tiga hari Andra tidak masuk ke sekolah.

Tiga hari juga, Amara memikirkan keputusan yang ia ambil tiga hari yang lalu.

Amara lebih memilih kembali ke sekolah dan berusaha tidak peduli pada Andra. Namun pada akhirnya apa? Ia selalu merasa resah dan merasa bersalah.

Dalam pikirannya sekarang; Apakah Andra baik-baik saja? Apakah Andra masih hidup? Apakah Andra akan kembali ke sekolah?

Jika Andra tidak baik-baik saja, bagaimana bisa Amara bertemu dengan Bundanya? Mengingat sang Bunda selalu menanyakan dimana Andra.

Belum lagi terlintas di pikirannya tentang Reno, yang tiba-tiba kembali masuk ke dalam daftar list pemikirannya. Ah, mengapa jadi begini sih!

"Ra!"

Amara terkejut saat suara bising melewati gendang telinganya. Ia melirik kearah Lula yang memang duduk bersebelahan sengannya.

"Ngelamun? Itu kerjain halaman 67," tegur Lula.

Amara menganggukan kepalanya singkat, lalu mengerjakan apa yang Lula perintahkan.

Lula mengerutkan keningnya, ia ingin sekali bertanya ada apa dengan Amara akhir-akhir ini. Tapi, Lula tak bisa menanyakannya sekarang. Nanti, Bu Nur akan mengamuk jika pelajarannya tidak di perhatikan.

"Jika sudah, nanti kumpulkan ke meja Ibu ya? Ibu sudahi pelajarannya sampai disini, terima kasih," ujar Bu Nur.

Amara mendongakan kepalanya saat Bu Nur pergi. Kini, Amara melihat kearah belakang. Ada Zidan disana yang sedang sibuk dengan buku yang ada didepannya.

"Dan--"

"Kalo lo mau tanya soal Andra. Lo nggak akan dapet jawabannya dari gue, karena gue juga nggak tau tuh anak bunglon kemana," ujar Zidan.

Amara mengerutkan keningnya pelan. Ia melemparkan pena berwarna pinknya tepat di kepala Zidan. Hal itu membuat Zidan meringis kesakitan.

"Jangan dibiasain, orang belum nanya udah jawab!"

"Lagian, katanya lo sahabatnya. Masa, orangnya nggak ada malah lo nggak tau. Sahabat macam apa lo," sindir Amara.

"Lah, lo juga. Udah di sayang malah nggak tau disayang. Terlalu jual mahal banget. Cewek macam apa lo," sindir Zidan balik.

Amara menggebrakan mejanya. "Tau apa lo tentang gue!" teriak Amara marah.

Sinta sudah berdiri dari kursinya. Ia memeluk lengan Amara agar tidak menghajar Zidan. "Udah, Ra, jangan marah-marah. Ini sekolah," cicit Sinta.

"Cih! Kalo lo bukan cewek, udah gue lawan dari dulu, Ra. Lo tuh terlalu jual mahal, lo nggak ada apa-apanya jadi cewek. Mendingan si Lili, udah cantik, mon-- aduh!" Zidan meringis saat buku tebal mendarat di wajahnya.

Bukan Amara yang berbuat, tapi kali ini Lula. Ia sangat gemas dengan Zidan karena mulutnya itu lemes, kayak perempuan!

"Lemes banget tuh mulut, kayak nggak pernah makan bangku sekolah! Heh denger ya, cewek itu emang harus jual mahal. Kalo murah, dibayarin mie ayam juga manut noh kayak si Lili. Mending di bayarin sama lo, yang ada, si Lili kan yang bayarin. Ngaku lo sama gue!" ucap Lula.

Zidan mengerutkan keningnya bingung. "Tau dari mana lo? Lo ngikutin gue ya?" tuduh Zidan.

Lula berdecih dan bangkit untuk mengambil bukunya. Ia mencubit Zidan sekeras-kerasnya dan mendekatkan dirinya pada Zidan.

DEAR, AMARA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang