51. Melodi

1.6K 192 38
                                    

Jika pena mampu menulis notasi nada, saat itulah hatiku bersuara, dan melodi cinta mengalun di dalamya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika pena mampu menulis notasi nada, saat itulah hatiku bersuara, dan melodi cinta mengalun di dalamya. -- Chara Perdana (Penulis Indonesia)

🌸🌸
_____

Sudah hari ketiga Amara tak bertemu dengan Andra. Ia menyibukan diri dengan membaca beberapa buku panduan yang beberapa minggu lalu Andra berikan padanya. Selain itu, ia juga pergi ke cafe-cafe untuk mengisi waktunya yang sedikit ruang dengan bernyanyi.

Selama tiga hari ini juga ia ditemani Martin. Awalnya ia menolak karena kehadiran Martin akan menambah keinginannya untuk bertemu dengan Andra barang sebentar, namun, Martin mengatakan jika Andra baik-baik saja dirumah bersama dengan kucing kesayangannya. Tentunya, itu tak membuat Amara percaya. Namun, Fahreza menelpon, mengatakan jika semuanya baik-baik saja dan menyuruh Amara untuk tetap fokus pada ujian universitasnya.

"Tin, lo udah makan belum?" tanya Amara saat Martin baru saja sampai di apartemennya.

"Lo nanya gue nih?" ledek Martin.

Amara berdecak, "Iyalah, lo kan sekarang jadi asisten pribadi gue. Buktinya, tiap hari nongol terus dihadapan gue."

Martin terkekeh, ini bukan kali pertama Amara memprotes dirinya karena setiap pukul 12 siang, Martin akan selalu mengunjunginya. Bukan tanpa alasan Martin mengunjungi Amara di jam tersebut, melainkan, hanya di jam segitulah Amara selesai belajar dan Martin harus memastikan jika Amara tak bertemu dengan Andra.

Jika kalian bertanya tentang keadaan Andra, Martin sendiri juga tidak mengetahuinya. Fahreza hanya menelponnya dan menyuruhnya untuk menjaga Amara selama beberapa hari ini. Awalnya Martin menolak karena tidak ada alasan yang jelas, tapi pada akhirnya, Martin menurut karena Fahreza menjelaskan bahwa kondisi Andra sedang tidak baik. Martin tidak bertanya lebih lanjut bagaimana kondisi lelaki itu, karena Fahreza langsung mematikan ponselnya dan nomornya sudah tidak aktif lagi.

Seperti sedang menyembunyikan sesuatu besar.

"Tin?"

Martin mengerjapkan matanya saat pukulan keras mengenai pundaknya. Martin mengaduh kesakitan saat pukulan itu pindah keatas kepalanya.

"Sakit, Ra. Lo pikir gue samsak apa main pukul-pukul!" sewot Martin.

"Ya abisnya lo ngelamun. Gue pikir, lo kesurupan iblis."

Martin mencibir, ia melihat semangkuk mie instan yang sudah berada didepannya. Tak lupa dengan tambahan toping telur mata sapi diatasnya.

"Usus gue bisa-bisa langsung jadi keriting, Ra, makan ginian terus," protes Martin. Bagaimana Martin tidak protes? Sudah tiga hari yang lalu Martin selalu makan dengan menu yang sama.

"Makan aja yang ada, nggak baik nolak makanan."

Martin mendengus, ia mulai menyendokan makanan dan memasukannya kedalam mulut. Ia melirik kearah Amara yang tengah duduk disofa yang tak jauh dari tempat yang ia duduki, terlihat Amara tengah membuka bukunya dan membacanya sangat serius. Martin bisa melihat keseriusan dimata gadis itu.

DEAR, AMARA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang