16. GWS

2.9K 215 10
                                    

Sudah hampir 39 kali ponsel Amara berdering. Ini baru jam 3 subuh, bukannya adzan masih lama?

"Ra .. coba angkat telponnya dulu. Berisik, gue nggak bisa tidur," lirih Lula.

Amara berdecak sebal dan mengambil ponselnya malas. Ia langsung menerima panggilan itu. "Halo. Siapa sih!" sapa Amara ngegas.

'Di telpon juga sama ternyata, ngegas,' ucap orang di ujung sana.

Dengan setengah sadarpun, Amara tau suara ini. Amara menggeram, Amara mengutuk dirinya sendiri karena telah bodoh membantu pria tak tau diri seperti Andra.

"Ngapain sih lo malem-malem gini nelpon gue!" sentak Amara.

'Calm, Ra. Tadi gue mimpi, terus gue bangun, terus--'

"Bacot!" Amara mematikan panggilannya. Baru saja ia ingin menon-aktifkan ponselnya. Layarnya kembali berbunyi dengan nama 'Calon' di layar ponselnya. Amara yakin jika Andra lah yang memberikan namanya sendiri di ponselnya.

Dengan kesal, Amara mengangkat panggilan itu. Belum juga Amara berbicara, Andra sudah terlebih dahulu berbicara.

'Ra, gue mimpi lo sakit. Makanya gue ke rumah lo. Ah maksudnya ke rumah Lula, tapi kedengerannya lo baik-baik aja ya?'

"Lo nggak waras tau nggak."

'Gue tau, dan lo udah selalu bilang. Tapi seperti yang selalu gue jawab, gue nggak waras cuma sama lo doang kok beneran.' ucapnya. 'Sorry gue ganggu lo tidur. Jangan lupa tutup jendela dan gordengnya. Bentar lagi hujan, have a nice dream ya.'

Tutt Tutt ..

Amara menoleh kearah jendela. Ternyata benar, jendela kamar Lula masih terbuka. Amara langsung bangkit dari ranjang dan melihat ke bawah. Amara melihat mobil yang sedang melaju.

Amara tau siapa pemilik mobil itu.

Tapi, apakah benar jika Andra kesini hanya karna ingin melihat kondisinya, yang kata Andra ia memimpikan Amara sakit.

Masa sampai segitunya?

🌸🌸

"Selamat pagi, Ma .. Selamat pagi, Pa .. Selamat pagi semua!" senandung Andra.

Bu Fahreza menghela napasnya saat putranya itu terlihat sedang memutar-mutarkan kunci mobilnya sembari turun dari tangga.

"Mama! Jawab dong sapaan pagi Andra."

"Pengen banget di jawab. Jomblo ya?" tanya Bu Fahreza.

Andra mengambil roti yang sudah di olesi oleh selai cokelat. "Bukan jomblo, Ma. Tapi single. Mama tau kenapa aku milih sendiri aja?"

"Heleh, nggak ada yang mau palingan sama kamu."

"Mama, penyakitan-penyakitan gini juga aku laris, Ma. Kayak barang obralan."

Bu Fahreza menggelengkan kepalanya. Ia memberikan sekaplet obat pada Andra.

"Minum," titah Bu Fahreza.

Andra melirik kearah obat itu. "Ma, aku--"

Bu Fahreza mengangkat plastik bekas sampah, menatap tajam putranya itu.

"Sejak kapan kamu buang semua obat kamu?" tanya Bu Fahreza.

Andra diam tak bergeming sampai akhirnya Papanya kini ikut duduk di sampingnya.

"Jujur sama Mama dan Papa, Andra."

Andra menghela napasnya. "Ma, Andra--"

"Bisa nggak sih kamu semangat untuk hidup, Ndra? kamu tau udah berapa waktu, tenaga dan uang yang keluar dari diri Mama, Papa dan kamu. Bisa nggak kamu percaya dengan proses dan keajaiban. BISA NGGAK?!" ujar Bu Fahreza. Matanya mulai berkaca-kaca, membuat Andra bangkit dari duduknya.

DEAR, AMARA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang