CHAPTER 28

506 42 0
                                    

Sheya menarik tas ransel Kinara dari meja, menggantungnya kembali pada bahu Kinara, ia tidak bisa membiarkan papinya di ambil alih oleh Kinara. Sheya bisa mengurus papinya sendiri tanpa bantuan anak kesayangan mami.

Ia melirik tajam Kinara yang sedang mencemaskan papi yang hanya diam tanpa suara. "Alfaro udah nungguin lo di luar, masih mau diam atau temui dia? " tanya Sheya.

"Kara nggak jadi ke sekolah, "

"Temui Alfaro dulu, "

"Alfaro akan paksa Kara untuk sekolah kalau Kara temui dia,"

Mami menghampiri Kinara, mengelus rambut hitam putrinya sambil sesekali melirik Sheya yang menampilkan ekspresi menjengkelkan, "Papi baik-baik aja kok sayang, kamu nggak perlu cemas. Alfaro sudah nunggu kamu sejak tadi loh, kasihan kalau dia gagal bawa kamu kesekolah di pagi yang cerah ini, " tutur mami lembut.

"Tapi mam, "

Mami mengecup puncak kepala Kinara lalu memakaikannya tas. Dengan sangat terpaksa Kinara harus berangkat bersama Alfaro. Terlebih mami yang memintanya, karena Kinara tidak mau usaha mami menjadi sia-sia kalau ia tidak berangkat ke sekolah.

"Anak manja, anak manja" gumam Sheya, seketika ia mendapatkan pelototan tajam dari Mami.

Tanpa peduli Sheya menuntun papi ke dalam kamar, Sheya merebahkan papi di atas ranjang dan menyelimuti papi yang sudah mulai mengigil.

Masalah lain dimulai, Sheya di kamarnya mencengkram pergelangannya, mengacak rambutnya frustasi. Air matanya sudah kering sejak kemarin, saat ini untuk menangis rasanya sangat sulit. Ia membutuhkan air mata untuk meminimalisir rasa sedihnya yang tak tertahan.

Tidak bisakah stok air mata di dalam tubuhnya ditambah tiga kali lipat untuk sekarang? Tidak masalah jika harus menghabiskan air minum cukup banyak.

Tidak bisakah anak manja juga tahu, agar dia bisa merasakan betapa hancurnya dirinya saat menyaksikan semua yang terjadi ada pada papinya tercinta.

Bagaimana bisa rasanya sangat menyakitkan saat Sheya tahu kebenaran itu memang nyata.Sekokoh apa hati mami sampai mami sanggup menutupi semuanya, menutup rapat masalahnya.

Sehancur apa mami saat bersama dengan papi? Tak bisakah mami membagi kesedihannya kepada dua anaknya yang sudah tidak bisa dikatakan kecil lagi?

Bukan ini yang papi harapkan, papi hanya menginginkan kesembuhannya. Setidaknya Sheya harus tetap optimis membantu papi melawan musuh terbesarnya. Sampai suatu keajaiban berpihak kepada papi. Menyelesaikan masalah terbesar yang sedang keluarga harmonis itu alami.

Seharusnya Sheya tidak membiarkan Kinara tahu, karena jika itu terjadi masalahnya akan bertambah besar. Kinara akan marah dan melakukan suatu hal tak terduga. Karena gadis itu selalu siap memberikan apapun yang ia punya sekalipun itu nyawanya.

Sheya men-dial nomor ponsel Benaya, memanggilnya hingga tiga kali dan berhasil saat panggilan keempat.

'Ben, lo di mana? '

'Di rumah, '

'Lo bolos ? '

'yoi'

'Tadi Kara berangkat sama Alfaro, '

'Udah liat, '

'Nggak cemburu? '

'Udah biasa Shey, adik lo emang hobi bikin gue baku hantam ditengah lapangan,"

BENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang