Memaksa untuk terus bersamanya adalah cara untuk bunuh diri yang paling manis.
______
Pagi di bulan penantian tiba, sudah terhitung 14 hari papi belum bersedia membuka mata. Kata dokter, perkembangan kesehatannya semakin lama semakin tidak dapat di prediksi. Dokter terlihat pasrah, mami tidak pernah berhenti menangis, Sheya selalu menghilang dari pandangan dan Kinara selalu tersenyum setiap hari.
Sekarang hanya Kinara yang tersisa di dalam ruangan, sempat mampir ke toko bunga untuk mengganti anggrek yang sudah layu dan mengajak papi berbicara seputar hari-hari setelah kesedihannya. Memberi banyak semangat agar papi cepat bangun, memanggil dokter saat cairan infus sudah hampir habis, lalu memakan hidangan makan siang yang sengaja di berikan untuk menu makan siangnya.
Kinara suka sup jagung dan buah melon. Ia suka semua hidangan yang rumah sakit berikan untuknya. Dia tidak sakit, tapi dia butuh itu untuk tetap sehat. Untuk tetap kuat menjaga papi hingga pagi, hingga papi bangun dan mengajaknya berkeliling mencari ice cream.
Kinara tidak tahu persisnya seperti apa, kenapa papi bisa seperti ini, tidak bangun-bangun dan tidak lekas mau menyapanya. Berulang kali Kinara memohon kepada dokter untuk memberikan apa saja supaya papinya cepat bangun. Tanpa diminta, rasanya dokter pasti akan memberikan yang paling baik jauh sebelum Kinara memintanya.
"Papi, kalau nanti Kara jadi sedih lagi. Papi gak boleh sedih juga ya? " tanyanya menyapu lembut punggung tangan papi yang bertulang.
"Dokter bisa kok nyembuhin papi, buktinya Gurli, dia masih hidup. Dia dapat bantuan dari dokter baik hati dan dia dapat semangat dari kekasihnya. Sekarang keduanya sudah papi miliki, ada dokter Kimi disini dan ada Kara yang nggak pernah nangis lagi. Papi bangun ya? Kara mau ice cream. "
Dokter Kimi yang sedang memeriksa papi hanya tersenyum, sesekali ia menyemangati Kinara untuk tetap bersedia menjaga papi apapun yang terjadi nanti. Dokter Kimi juga berpesan agar Kinara jangan sedih. Padahal, sejauh ini, selama ia menjaga papi, ia sama sekali tidak menangis, menghilangkan lengkungan di bibirnya saja rasanya tidak rela. Kinara selalu ceria dan berharap selalu begitu.
Langkah cerianya dimulai saat ia menggembungkan pipi, ia menyandarkan punggungnya pada dudukan kursi seperti anak balita yang sedang asyik memandangi televisi. Remote yang di pegangnya mengganti dari saluran berita ke kartun animasi.
Ia tertawa sembari menikmati keripik kentang nya kala tokoh utama di dalam kartun itu terpeleset kedalam jurang.
"Lucu juga ya kalau Kara kepeleset, jadi ingat saat di kolam berenang. Semua orang berkerumun seolah Kara jadi potongan donat dan mereka semutnya. "
Kursi yang didudukinya mendekat ke arah papi, Kinara menatap wajah papinya dan mengeluarkan tisu basah untuk membersihkan wajah tirus itu.
"Waktunya mandi sore, kucing." ucapnya lalu terkikik geli.
"Papi tampan, pantas aja mami dulu mami semnagat kejar-kejar papi sampai sendalnya putus. Lalu minta beli yang baru ke Oma, tapi malah Oma kasih sepatu boots hijau botol turun-temurun dari kakek buyutnya." katanya, lalu tertawa lagi.
Matanya beralih ke syal neneknya yang terlipat di atas meja. Kinara mengalungkan syal itu di leher. Pandangannya lalu turun menatap tas sekolahnya yang terbuka menampilkan baju ganti yang sudah di sediakan dari rumah.
"Kara ganti baju dulu ya, Pi? " Ia menarik setelan piyama biru muda yang Benaya berikan waktu itu.
"Kara gak jadi ganti baju deh, mami salah bawain pakaian. Masa Kara disuruh pakai piyama Bianca. " ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENAYA
Teen Fiction[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Dia Benaya, dia keren, tampan, tinggi, pintar, jago menggambar, memanjat tebing dan photografi. Kurasa tidak ada yg bisa menandinginya. Tahu tidak? Dia sering menyiksaku, membentakku, memarahiku. Saat itu aku tidak tahu di...