Semakin di beritahu untuk pergi semakin meminta kembali, bukan aku yang mau tapi kamu.
_____
"Oh Ratu mau itu? "
"Nggak juga sih, " tolak Kinara dengan mengibaskan tangannya, Kinara mendorong Benaya untuk segera memanggil pak Alghani.
Untuk yang terakhir kali, Kinara harap ia tidak bertemu dengan Barra disini, setelah kejadian pagi tadi Kinara menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan lelaki itu. Barra itu kurang ajar fillingnya , selalu ingin menjadi dokter untuk papi padahal dirinya sendiri hanya bisa berkutat pada resep membuat bolu. Buatannya saja belum tentu ada yang mau mencicipi, bagaimana bisa ia ingin menjadi alat untuk menyembuhkan penyakit ganas papi.
Sungguh, lelaki itu membuatnya semakin penasaran saja. Ah, apa Kinara harus mencari tahu latar belakang Barra? Untuk apa menjadi detektif yang sedang tidak di beri tugas, desis Kinara dalam hati mengingat perkataannya sendiri beberapa jam yang lalu.
Selang dua menit lamanya, Kinara merasa poninya tiba-tiba berterbangan. Ia kira angin yang meniupnya, sampai pada saat ia mendongakkan kepala ia baru sadar ada Benaya dan guru setinggi pohon kelapa berdiri tegak di hadapannya, pak Alghani itu tinggi sekali 190 cm.
Kinara melihat ke bawah, dua tangan lelaki didepannya terpaut satu sama lain. Kinara mencoba melihat ekspresi keduanya, flat seolah tidak ada hal aneh atau menggelikan. Entahlah apa yang ada di pikiran Benaya saat memanggil pak Alghani sampai ia berani menggandeng tangan guru yang mudah tersinggung itu.
Melihatnya saja Kinara sudah ingin menutup muka, apalagi harus berlama dengan dua pria yang ada di depannya. Rasanya ia butuh izin ke toilet untuk meninggalkan rasa malunya.
"Shuttt, " bisik Kinara pada Benaya.
"Lepasin eh, " ucapnya pelan.
Benaya mengernyitkan alis tebalnya, dia tidak paham dengan apa yang sedang Kinara katakan. Masih dengan tangan Benaya yang menggandeng tangan pak Alghani, tangan kiri Benaya dipenuhi dengan selebaran yang ada di dalam map yang tak pak Alghani minta untuk di bawakan.
"Ini kertas ulangannya mau di bagiin ke kita pak? " tanya Benaya.
"Tidak, kesini kan map-nya, " balas pak Alghani.
"Lah terus ini? Kertas banyak begini buat apa pak? " tanya Benaya tanpa memberikan map itu kepada Pak Alghani.
"Rencananya mau dikasih ke tukang pisang goreng kantin, tapi bapak mager, " ujarnya.
"Yaudah kalau gitu biar Benaya aja pak yang antar, dia kan mau sekalian beliin bapak kopi, " sambar Kinara sambil menjentikkan ujung jemarinya.
Pak Alghani tampak berpikir, Kinara menduga bahwa guru olahraga yang satu ini tidak setuju dengan sarannya. Begitu dengan Benaya yang sedang dalam masa apesnya, guru itu selalu meminta di jajani ini itu jika sudah terlanjur di belikan kopi. Katanya, untuk bahan pelengkap agar mengajarnya jadi semangat dan tidak mengantuk.
"Untung saya sayang bapak, kalo enggak udah saya aduk, " bisik Benaya pada diri sendiri, suara itu masih dapat di dengar oleh indra pendengaran manusia normal yang ada di sekitar.
Kinara melongo, gadis itu mendengar ucapan Benaya barusan, Kinara sekarang merasa sudah tidak bisa membendung rasa malu dan takut akan kemarahan pak Alghani.
"Kata kamu mending kopi hitam atau kopi susu supaya bapak semakin fresh? " tanya pak Alghani akhirnya setelah berpikir. Kinara kira apa, sekarang ia bisa bernafas dengan lega, nyatanya bapak yang satu ini hanya menanyakan perihal kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENAYA
Fiksi Remaja[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Dia Benaya, dia keren, tampan, tinggi, pintar, jago menggambar, memanjat tebing dan photografi. Kurasa tidak ada yg bisa menandinginya. Tahu tidak? Dia sering menyiksaku, membentakku, memarahiku. Saat itu aku tidak tahu di...