"Gue buatkan bubur kacang hijau ya supaya panasnya turun? " sebagai jawaban Kinara hanya mengangguk. Mungkin rumah adalah pelarian terakhirnya.
Menerima jawaban itu Benaya lekas bangun dari duduknya, setelah rumahnya sendiri hilang dan ia berencana meninggalkan semua kenangan manis yang tidak mungkin menjadi manis. Harapannya hanya ingin membahagiakan, walau sebenarnya tidak masalah jika harus sebentar.
Benaya ingin menyampaikan, dua hari bukanlah waktu yang cepat, 72 jam bersamanya tidak bisa di gantikan oleh bahagia yang lainnya. Barangkali 0,02 detik yang akan datang akan jadi waktu terakhir mereka, Benaya pastikan ia akan memanfaatkan dan menyimpan kenangan istimewanya di dalam bingkai. Bingkai di hatinya lalu mencetaknya sebesar mungkin agar ia tidak lupa.
Kinara banyak melamun, ia pasrah jika harus sudah.
"Paragraf pertama, sengaja gue gak bilang 'halo, apa kabar' karena dengan pertanyaan itu gue tau sebenernya lo lagi gak baik-baik aja. "
Sambil mendengarkan, matanya tak beralih dari tubuh tegap laki-laki yang sedang berusaha meninggalnya dengan segudang alasan. Tidak peduli dengan kegiatannya berlalu lalang di dapur. Raga yang sebentar lagi sulit untuk ditatap dan di temui tak boleh lepas dari pandangan.
Tidak tahu mendapatkan keahlian dari mana, tidak tahu apakah rasa bubur kacang hijau itu nanti akan manis atau hambar. Bu Suga sedang membantu lelaki itu memotong gula merah dan rasanya bukan saatnya untuk mendebatkan perihal rasa. Rasa yang hadir nanti akan tetap semu, terlebih jika laki-laki di depannya benar-benar berencana untuk hilang.
"Gue kira kita gak akan berakhir di rumah, " kata Kinara di awal kalimat nya.
"Memangnya lo berfikir mau gue bawa kemana? " tanya Benaya.
"Nggak, gue gak mau sama Lo! " tolak Kinara dengan cepat.
Bohong, Kinara ingin tetap ada. Disampingnya ataupun tidak, Kinara tidak akan peduli. Kinara hanya ingin dia menetap, singgah dan menemaninya hingga akhir.
"Ngopi gak harus di coffee shop Ra, gue mau menghabiskan waktu sama Lo bukan menghabiskan secangkir kopi." katanya.
"Bentuk alasan bisa berupa apa aja kan Tante? " tanyanya melanjutkan.
"Tante? " tanya Kinara mengernyit.
"Mantan terindah. " jawab Benaya.
"Gausah kembali kalo kedatangan lo cuma mastiin untuk pergi dan menyampaikan kalo hidup gue harus baik-baik saja! "
"Gue tau pulang adalah jawaban yang lo pilih dan lo mau Ra. Lo pasti juga tau kalo gue butuh rumah untuk berpulang. "
"Jadi egosi untuk sekarang memang gak boleh? Memang kesempatan egois gue gak bisa di gunain sekarang? Cepat atau lambat gue bakal kangen sama lo. Gue pengen lo tetap disini Bena! Meskipun kita udah gak jadi apa-apa, apa masalah kalo rumah lo masih bertempat di sebelah rumah gue? " tanya Kinara berkaca-kaca.
"Keadaan lagi gak mendukung gue untuk terus jagain Lo. " jelas Benaya menusuk bagai petir.
Sesak yang Kinara rasakan dan air mata yang sudah merembes keluar membiarkan ucapan Benaya membenarkan bahwa sebenarnya percuma. Percuma ia menahan sesuatu yang jelas-jelas ingin pergi.
"Kenapa sih gak mau udah untuk benci saudara-saudara Lo sendiri? Lo anak tunggal, Lo butuh pendengar dan teman dirumah. Lo seharusnya tau dengan hilangnya orang tua mereka, itu udah jadi hukuman yang sudah semesta balas. Kenapa sampai sekarang Lo masih memanfaatkan diri Lo sendiri dengan kebencian yang gak ada obatnya? " tanya Kinara sambil menangis.
"Lo nggak ngerti Ra, Lo gak akan paham. "
Bisa tidak lelaki itu juga memahami keadaannya? Bisa tidak sekali saja memahami, jika dia hilang Kinara tidak bisa jadi apa-apa lagi di semesta yang serba harus ada dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENAYA
Teen Fiction[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Dia Benaya, dia keren, tampan, tinggi, pintar, jago menggambar, memanjat tebing dan photografi. Kurasa tidak ada yg bisa menandinginya. Tahu tidak? Dia sering menyiksaku, membentakku, memarahiku. Saat itu aku tidak tahu di...