Sampai bel pulang berbunyi, kedua sahabatnya yang menghilang belum bisa ia temukan. Nomor ponsel keduanya mendadak tidak aktif.
Padalah jika dua anak kembar itu ada, ia bisa meminta bantuan kepada salah satunya. Contohnya sekarang, saat ia sedang bingung mencari angkutan umum yang searah dengan rumahnya.
Jangan tanya Alfaro dimana, lelaki itu ikut menghilang setelah mengantarkan Kinara ke kelas usai dari kantin pagi tadi. Di absensi di jelaskan bahwa Radin, Alfaro, dan Ririn masuk sekolah hari ini. Namun, Kinara belum bisa menemukan teman-temannya dan memastikan bahwa mereka baik-baik saja.
Manusia yang kini Kinara temui hanya Barra, hanya dia siswa yang tersisa di sekolah ini, pada jam yang tidak bisa di katakan siang lagi, lelaki itu sedang berdiri di sebrang jalan. Membiarkan wajahnya terpapar sinar matahari sore.
Tidak terbesit niat untuk meminta bantuan kepada Barra, karena jika itu terjadi dirinyalah satu-satunya manusia yang dengan sengaja membuka jalan untuk barra mengomentari hidup papinya.
Belum genap lima menit, niatnya untuk tidak bertanya kepada Barra sirna. Ia membutuhkan jalan pulang, ia ingin segera sampai ke rumah dan menemui papi.
Kinara menyebrangi jalan, bermaksud menghampiri Barra. Namun saat dirinya sudah berhasil dan berdiri di pinggir jalan, Barra mendapatkan angkutan umumnya.
Seolah sudah berabad-abad lamanya menunggu angkutan, Barra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, Barra segera memasuki angkot sebelum kenek memutuskan untuk melajukan kendaraan tersebut.
Kinara ternganga, gadis itu menepi saat klakson angkot memperingatinya untuk menyingkir. Masih belum sadar, mata Kinara hanya mengekor menyaksikan mobil itu semakin menjauh.
Kinara mengerjapkan matanya setelah sadar ia telah kehilangan kendaraannya untuk pulang. Kinara mencoba menyalakan ponselnya lagi, lagi-lagi ponsel itu langsung mati saat baru menampilkan layar hitam dan logo handphone yang tidak melakukan pergerakan.
"Gue akan sekolah 36 jam kalau gini, " ringis Kinara. Ia segera menepis ucapannya, bagaimanapun caranya dia harus segera pulang.
Gadis itu bertekat untuk pulang dengan berjalan kaki, tidak tahu arah kemana ia bisa kembali. Kinara harus tetap berusaha, mencari orang untuk menanyakan arah menuju rumahnya.
Kinara berhasil menemukan orang untuk di mintai pertolongan. Penjual bensin di perempatan jalan yang di temuinya berpikir sebentar saat Kinara menanyai arah jalan rumahnya.
"Neng, biasanya ada angkot di depan SMA, angkot itu operasi dari pagi sampe jam lima sore, "
Kinara membulatkan mata, langit sudah berubah warna menjadi jingga. Ia menepis anggapan bahwa angkutan yang tadi Barra naiki adalah angkutan terakhir yang melewati jalanan itu.
"Sekarang jam berapa pak? "
Sang bapak mengeluarkan ponsel jadulnya, " Jam lima kurang 10 menit, "
"Alhamdulillah, berarti masih ada waktu 10 menit lagi sebelum angkutan itu benar-benar nggak ada kan pak? "
Bapak penjual bensin hanya tersenyum, "Saya kurang tau neng, baru dua bulan jualan bensin disini, "
Kinara tampak berfikir sejenak, ia pernah menaiki metromini dari rumahnya beberapa bulan lalu. Ide brilian muncul seketika saat ia berhasil mengingat warna mentromini yang pernah di tumpanginya.
"Bapak, " panggil Kinara saat bapak itu hendak masuk kedalam warung kecilnya.
"Iya neng? "
"Bapak pernah lihat metromini warna merah melintas di daerah ini? "
"Oh iya bapak ingat neng, di pertigaan depan sana ada pangkalan ojek, nah di sebrang jalan ada halte lama, metromini biasanya ngetem di sana. "
"Jam segini masih buka pak? "
"Rame neng sampe malam, " Kinara membuka senyumnya dengan lebar, akhirnya ia bisa pulang kerumah.
Sebelum pergi Kinara mengucapkan terimakasih kepada sang bapak, ia langsung berjalan dengan semangat menuju halte.
🌻🌻🌻
Benaya sedang merapikan dasinya, ia dipaksa oleh Ilham untuk mengikuti acara makan malam yang di selenggarakan oleh perusahaan papanya.
Sudah berulang kali Benaya menolak untuk hadir, namun papanya itu selalu memaksa Benaya agar mau makan malam bersama. Terlepas karena maminya akan kembali ke Jepang dua pekan mendatang.
"Angkat telponnya Shey, " desis Benaya karena Sheya tidak kunjung mengangkat telepon.
Ia kembali mencoba menghubungi Kinara setelah beberapa kali operator mengalihkan sambungan karena nomor Kinara tidak aktif.
"Sial, " umpat Benaya, ia mengacak rambutnya frustasi.
Benaya duduk di ujung ranjang, menggulung kemejanya sampai siku dan menarik kunci mobil di atas nakas. Benaya hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk menjemput Kinara, setelah itu akan menyusul acara makan malam bersama.
Langkah Benaya di hadang oleh Bianca, Bianca mengulur waktunya dengan berdiri di ambang pintu kamar Benaya.
"Minggir, " usir Benaya dingin.
"Om Ilham nyuruh aku untuk panggil Abang, " jawab Bianca tanpa menyingkir dari tempatnya, ia mengulas senyum kepada Benaya setelah mengatakan itu.
"Gue akan datang kesana secepat mungkin, " balas Benaya seadanya. Benaya menerobos ke luar, saat ia berhasil pergi Bianca berlari untuk menghadangnya lagi di jalan menuju tangga.
"Abang mau kemana? " tanya Bianca sembari merentangkan tangannya menutupi jalan.
"Ga ada waktu buat ngeladenin lo, gue harus jemput Kinara sekarang, " jawab Benaya tajam.
"Om Ilham nyuruh aku untuk larang Abang pergi kemana-mana, "
"Lo tuli? Gue harus jemput Kinara sekarang! " bentak Benaya menerobos pergi, namun saat ia hampir berhasil melewati Bianca, gadis itu limbung dari posisi berdirinya. Bianca akan terhuyung ke belakang dan jatuh dari atas tangga jika saja Benaya tidak menarik tangannya.
Tanpa kemauannya sendiri, tiba-tiba tangan Benaya dengan refleks terulur untuk membantu Bianca menyingkir dari pembatas tangga.
"Nggak bisa, Abang disuruh untuk temui om Ilham sekarang," jawab Bianca akhirnya setelah ia berhasil mengusir rasa takutnya dan menepi dari tangga jika ia tidak ingin terjatuh lagi.
Benaya tersenyum meremehkan, " Senang banget ya di suruh-suruh? "
" Kenapa nggak sekalian jadi pembantu aja di rumah ini? " tanya Benaya sinis.
Bianca menatap Benaya, matanya mulai berkaca-kaca. Tangannya sebisa mungkin ia tahan untuk tidak terkepal. Bianca berusaha menarik nafas sedalam-dalamnya.
"Abang, kenapa sih? " tanya Bianca.
"Lo belum cukup ngabisin waktu gue? "
"Bang, " mohon Bianca. Gadis itu memegang pergelangan tangan Benaya, membuat Benaya langsung menepis tangan mungil itu.
"Apa selama satu bulan lo numpang disini lo nggak mikir kalo gue sedang terusik? " suara Benaya mulai meninggi, rahang lelaki itu bergemelatuk.
"Maaf, " jawab Bianca menundukkan kepalanya.
Benaya mengusap peluhnya, ia menarik nafas dalam. " Sekarang, lo bilang sama bokap gue kalo mulai malam ini gue mau pergi dari rumah ini-"
"Bang, " potong Bianca.
"Selama masih ada lo disini, " lanjut Benaya lalu pergi meninggalkan rumah.
Benaya menancapkan gasnya membelah jalanan yang lenggang, udara dingin menerpa kulitnya. Membuat dirinya langsung ingin mengutuk diri, karena lalai menjaga Kinara.
Benaya berjanji akan menghukum dirinya sendiri jika hal buruk menimpa Kinara, bagaimanapun juga semua ini salahnya karena selama ini ia hanya patuh menuruti dan mengikuti perintah papinya untuk menemani tiga saudaranya yang sangat ia benci.
_________________________________________
Tertanda, Rizkapsptsr 💓
KAMU SEDANG MEMBACA
BENAYA
Teen Fiction[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Dia Benaya, dia keren, tampan, tinggi, pintar, jago menggambar, memanjat tebing dan photografi. Kurasa tidak ada yg bisa menandinginya. Tahu tidak? Dia sering menyiksaku, membentakku, memarahiku. Saat itu aku tidak tahu di...