CHAPTER 31

534 46 3
                                    

Gelap, hampa, sunyi, ruanganku begitu dingin
Saat kamu meneranginya menggunakan lilin
Wajah ini menghangat dan terkantuk
Tersadar, selama tidur pikiranku kau tarik

___

Benaya menyelimuti Kinara yang telah tertidur karena lelah menangis. Mata Kinara sudah bengkak seluruhnya, membuat Benaya tergerak untuk mengambilkan bantal dan selimut.

Dia tak berani memindahkan Kinara ke dalam kamarnya, sebelum keluarganya pulang dari acara makan malam. Benaya tidak bisa meninggalkan Kinara sendiri di rumahnya dengan kondisi yang tidak bisa dikatakan baik. Benaya memilih menemani Kinara dan melupakan acara makan malam di kantor papanya, dia siap mendapat amarah dari Ilham setelah Ilham kembali.

Jujur, Benaya takut menghadapi Kinara. Ia takut Kinara berubah setelah tahu kenyataan bahwa cancer  kembali menggerogoti tubuh papinya. Terlebih kondisi kesehatan papi Kinara akhir-akhir ini menurun drastis. Hanya ada sedikit informasi yang Benaya dengar dari Sheya. Selebihnya, Sheya tidak memperbolehkan Benaya mencari tahu sekecil apapun informasi itu.

Suara garasi terbuka membuyarkan lamunan Benaya yang sedang memandangi wajah sendu Kinara. Benaya mengusap wajahnya lalu membuka pintu rumah yang tadi sempat ia kunci.

Benar dugaannya, kaki itu belum sampai menyentuh keramik ruang tamu, Ilham sudah memberikan tamparan keras di pipi Benaya. Rasa panas di pipinya menjalar ke hatinya saat ia melihat tiga orang yang tidak ia inginkan datang kembali ke rumahnya.

"Dari mana saja kamu? " tanya Ilham dengan suara baritonnya. Benaya bungkam bukan tak ingin menjawab pertanyaan Ilham. Ia merasa sangat panas melihat tiga saudaranya yang sedang bercanda masih menginjakkan kaki di rumahnya. Tanpa tahu bahwa mereka telah merebut kasih sayang orang tuanya yang telah hilang sejak ia baru dilahirkan.

"Papa sudah tidak bisa lagi melarang mama membawa kamu pindah ke Jepang. "

"BENAYA GAK MAU TINGGAL SAMA DIA PA!"

"Dia ibu kandung kamu Benaya! "

"BUNDA MEIRA IBU SAYA! TIDAK ADA YANG LAIN! "

Ilham melayangkan tamparan keras kepada putranya. Namun tangan mungil itu, tangan yang sempat ia tepis dan hampir ia jatuhkan dari atas tangga menahan tangan Ilham agar tak melukainya.

Ilham menatap Bianca yang tampak memohon, sedangkan Dion dan Gino memilih melewati perdebatan itu.

"Gausah halangin bokap untuk nampar gue, lebih baik gue di tampar daripada ngeliat muka lo ada di rumah ini! " ucap Benaya lalu pergi meninggalkan ruang tamu.

Dia abaikan teriakan Ilham yang menghantam dinding kamarnya. Daripada semakin lama disana lebih baik ia segera membawa Kinara pergi dari rumahnya.

Benaya cukup membawa kunci mobil dan  jaket tebal untuk menyelimuti Kinara. Gadis itu masih tertidur pulas di atas sofa, di samping Zoya yang sedang mengelus lembut puncak kepala Kinara.

"Benaya mau kemana? Bawa jaket dan kunci mobil selarut ini? " tanya Zoya lembut.

"Bukan urusan lo! " bentak Benaya. Zoya kembali mengelus puncak kepala Kinara lalu bergantian menatap Benaya yang tak mau melihat wajahnya.

"Ini putri sahabat mama, dia anak kesayangan Ilona, begitu mama dengar kabar kalau papinya masuk ICU tadi sore, mama rasa kamu sekarang tahu apa masalah yang sedang dia hadapi. Mama percaya kamu bisa jaga dia, lindungi dia dan jaga senyumannya agar tetap mengembang. Sama seperti dulu kamu menjaga Bianca, kamu pasti masih ingat kan bagaimana dulu kamu menjaga Bianca saat tangannya terpaksa di pakaikan gips karena patah tulang saat jatuh bermain sepeda? " ucap Zoya lalu berdiri berhadapan dengan putranya yang sudah beranjak dewasa.

BENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang