00:29

289 42 8
                                    

⌂Bukti Lainnya⌂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⌂Bukti Lainnya


Tidak jauh berbeda dengan Naya, Razka yang masih duduk di pinggir kasurnya juga sama salah tingkahnya. Ia dalam hati merutuk dirinya sendiri yang entah dapat wangsit darimana berani mengatakan hal itu. Terlebih lagi setelah mendengar respon dari Naya. Razka jadi berpikir sepertinya hal ini masih terlalu cepat untuk dibahas. Ia bahkan takut kalau perkataannya barusan meninggalkan kesan agresif dalam benak Naya. 

Kata tolol entah sudah berapa kali ia rapalkan dalam benaknya sendiri. Kalau saja ia sendirian di kamarnya pasti dia sudah berteriak seperti orang kesurupan karena menyesali perkataan bodohnya. Alhasil karena tidak bisa menyalurkan rasa tersebut dengan berteriak, ia malah mencengkram spreinya kuat-kuat. 

Kini dalam benak Razka dipenuhi dengan pikiran aneh-aneh semacam, bagaimana kalau setelah ini Naya menjauhinya karena gadis itu menganggapnya agresif? Bagaimana kalau setelah ini Naya menjauhinya karena gadis itu menganggapnya terlalu modus? Bagaimana kalau setelah ini Naya menjauhinya karena gadis itu menganggapnya terlalu gombal dan cuma bercanda saja akan tiap perkataannya? 

Bagaimana kalau, bagaimana kalau, bagaimana kalau... Ah, Razka sangat tidak menyukai kata itu. Seolah kata-kata itu mempunyai kekuatan magis yang entah bagaimana membuat orang selalu ketakutan sendiri dengan pikirannya dan akan terus terkurung dalam pikiran tersebut, dalam pikiran yang bahkan belum pasti akan terjadi. Kata-kata bagaimana kalau atau bagaimana jika entah kenapa biasanya diikuti dengan pemikiran negatif nan skeptis.

Ada hening yang tiba-tiba menyelubungi ruangan kamar tersebut. Entah bagaimana keheningan ini menjadi teman bagi Naya untuk meneliti meja belajar Razka. Di atas meja kayu berwarna coklat muda tersebut bercecer kertas-kertas dan juga alat tulis. 

Meski di atas meja disediakan sebuah box berwarna hitam yang digunakan untuk menata alat tulis seperti pupen, nyatanya malah box tersebut tidak digunakan sebagaimana fungsinya. Tempat untuk menaruh alat tulis itu kosong melompong karena isinya dikeluarkan semua dan dibiarkan tercecer di atas meja belajar. Mungkin bekas belajar atau menyalin pr Razka tadi malam, begitu pikir Naya. 

Buku pelajaran Bahasa Indonesia yang ada di tumpukan paling atas pada buku-buku di sisi kiri meja dibiarkan menganga terbuka. Buku terbuka yang menunjuk halaman seratus empat dan seratus lima itu mau tidak mau menarik perhatian Naya. Mungkin bekas mengerjakan pr Bahasa Indonesia, pikirnya lagi. Jemari gadis itu meraba bagian buku bahasa Indonesia yang menunjukkan halaman seratus lima puluh lima itu. Membolak-balik lembar halaman selanjutnya. 

Tidak jelas apa motifnya, tapi Naya melakukannya agak lama sampai buku itu ditutup. Namun, perhatian gadis itu teralihkan melihat apa yang ada di balik sampul halaman depan buku. Sebuah benda laminating yang tampak tak asing, sama seperti jimat keberuntungan Naya yang sering ia bawa. Bedanya, sesuatu yang ada di dalam plastik laminating itu tidaklah berwarna kuning. 

SM : AATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang