00:53

333 42 33
                                    

⌂Naya's Confession⌂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⌂Naya's Confession


Samar-samar cahaya merambat masuk menyapa netra Arya. Ia kerjapkan mata beberapa kali, mencoba beradaptasi dengan sensor terang itu. Hembusan napasnya terasa ringan berkat bantuan benda yang tertambat di sekitar hidung. Entah sudah berapa lama Arya memejamkan mata. Hal terakhir yang diingatnya hanyalah teriakan bunda saat memanggil namanya dengan panik.

"Hai!" sapa seseorang di sisi ranjang. Masih berasal dari arah sumber panggilan, perlahan Arya bisa merasakan tangannya digenggam dengan erat.

"Lo udah bangun?" imbuh Naya lagi.

Pertanyaan yang tidak perlu ditanyakan juga sebenarnya. Menilik ia bisa dengan jelas melihat mata Arya terbuka.

"Shanay," lirih Arya.

Sebuah uluman senyum Naya sunggingkan. "Bagus deh, lo ga amnesia! Kata bunda lo, semalem lo jatuhnya agak keras!"

"Sekarang bunda mana?" tanya laki-laki berbibir pucat itu.

"Lagi ada urusan bentar katanya," jawab Naya. "Makanya gantian gue di sini yang jagain."

"Shanay kenapa bisa di sini?"

"Gue tadi nyamper rumah lo. Abisan lo lama banget ga jemput gue. Eh, pas di depan rumah malah ketemu nyokap lo yang mau buru-buru pergi gitu... terus tante bilang lo masuk rumah sakit. Jadi gue sekalian dianterin ke sini deh," terang Naya.

"Lama jemput?" gumam Arya. Ia mengernyit sebentar sebelum kemudian menepuk jidat. "Oh iya... kita janji mau main ya hari ini?" lirihnya.

Naya mengangguk kecil menanggapi.

"Maaf ya Shanay, Arya lupa..." kata Arya. "Maaf juga, enggak jadi main karena Arya sakit," lanjutnya.

Sorot mata Arya tampak meredup. Membuat Naya tidak suka melihatnya.

"Kan ini juga udah keitung main," tandas Naya.

Arya menggeleng lemah. "Mana ada main ke rumah sakit, Shanay."

"Yang penting tuh bukan ke mananya, tapi sama siapanya," ceplos Naya sembari menaik turunkan alis. Berisyarat meminta persetujuan Arya bahwa ucapannya yang barusan benar.

Bibir pucat Arya menarik senyum kecut. Dia setuju dengan perkataan Naya barusan memang. Tapi menjadikan rumah sakit sebagai destinasi main, dengan dirinya yang hanya bisa terbaring di atas ranjang mengenakan alat bantu pernapasan, sama sekali bukan tipe kencan yang ia inginkan.

Sembari membiarkan Naya memainkan jemarinya, pikiran Arya mengembara sendiri. Melihat Naya di sampingnya saat dirawat adalah hal yang tidak pernah Arya bayangkan sebelumnya.

"Shanay..." panggil Arya setelah cukup lama hening.

"Hm?" Naya menjawab masih dengan memainkan tangan Arya.

SM : AATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang