00:32

270 35 5
                                    

⌂Perkara Pagi⌂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⌂Perkara Pagi


Ruang makan yang ramai di pagi hari seolah sudah menjadi identitas bagi keluarga Eyang Raja semenjak kepindahan anak sulungnya tersebut ke rumah ini. Dua anak kembar yang masih berlarian memutari meja makan, seorang kakek yang memerhatikan kedua cucunya dengan senyum, seorang pria yang duduk di sisi kanan meja sambil fokus membawa koran langganannya, seorang wanita paruh baya yang daritadi mondar-mandir ke dapur dan ruang makan, sekiranya begitulah pemandangan yang didapatkan hampir tiap pagi. 

Satu persatu anak tangga dipijak Razka untuk dituruni. Matanya terlihat lelah karena tidak bisa tidur. Semalaman dia memikirkan seseorang yang kemarin sore menghabiskan waktu bersamanya. Sudah berkali-kali dia mencoba mengirim pesan pada gadis itu, tapi satu pun balasan tak kunjung ia terima. Bahkan sampai pagi ini. 

Ia mengedarkan pandangannya ke arah meja makan. Pemandangan yang sama seperti biasa didapati netranya.

Alya yang harusnya menjadi anggota baru dalam meja makan persegi panjang tersebut tidak menampakkan hidungnya pagi ini. Oh, mungkin belum. 

Razka kemudian menghela napas sambil berjalan ke arah meja makan. Ia menempatkan diri di kursi yang biasa ia dudukki. Samping kiri kakeknya.

Sesaat setelah duduk, lagi-lagi ia mengecek ponselnya. Masih sama, tak ada pesan dari orang yang ia harapkan. Razka mendecak lirih. Dia sama sekali tidak tahu apa yang merasuki dirinya tapi Naya memang sudah benar-benar menjungkir balikkan dunianya hanya dalam kurun waktu semalam. Dia jadi uring-uringan sendiri.

"Cila, Cilo... ayo duduk sarapan. Jangan lari-larian mulu ah," kata ibu dari kedua anak kecil tersebut sambil meletakkan sepiring penuh ayam goreng ke atas meja.

Ajaibnya hanya dengan seruan singkat tersebut, kedua anak kecil itu langsung menghentikan kegiatannya dan duduk ke kursi yang biasa mereka tempati. Cila duduk di sebelah Razka seperti biasa, sementara Cilo duduk sebelah ayahnya. Sebelum seruan untuk memanggil tamu spesial di rumah itu dilayangkan, terdengar langkah kaki menuruni tangga.

Razka yang tidak tertarik untuk melirik ke arah tangga tersebut mulai bergerak mengambil ayam goreng dan nasi untuk sarapannya. Tanpa perlu melihat pun ia sudah tahu siapa yang menuruni anak tangga tersebut. Iya, siapa lagi kalau bukan badai yang menyebabkan hubungannya dengan Naya menjadi tidak baik.

"Selamat pagi Eyang!" seru Alya sambil mencium pipi kakek Razka tersebut.

"Selamat pagi Tuan Putri," balas Eyang Raja. Itu adalah panggilan sayangnya untuk Alya karena ia sudah menganggap gadis tersebut sebagai cucunya. 

Iya, Alya memang sedekat itu dengan keluarga Razka.

"Selamat pagi Tante, Om..." sapa Alya. Kedua orang disapa itu juga menjawab dengan senang sapaan gadis tersebut.

"Selamat pagi Cila, Cilo..." sapanya lagi masih dengan senyum yang belum luntur. "Dan selamat pagi—"

"Lo bisa diem enggak, sih?" sela Razka dengan ketus. "Enggak sekalian aja tuh se-RT lo ucapin selamat pagi juga."

SM : AATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang