00:57

304 36 27
                                    

⌂11

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⌂11.47


Pukul 11.47 dini hari. Tiga belas menit menuju tengah malam. Angka itu terbaca jelas beriringan dengan nyala layar ponsel Naya. Benda petak warna putih yang layarnya dibiarkan menengadah tersebut mulai mengeluarkan bunyi dering tertahan. Speaker yang harusnya menderingkan bunyi ponsel agak redam karena bersinggungan dengan kasur empuk Naya. Gadis yang tidur dengan kaki setengah keluar dari selimut itu menggeliat sebentar. Getaran dari benda yang tergeletak dekat lengannya kian lama merambat dan mengganggu sensornya. Dengan enggan akhirnya Naya menggerakkan tangan juga. Dirabanya permukaan datar tanpa menelengkan posisi wajah sedikit pun. Ketika sudah menemukan ponsel putihnya, Naya melirik sebentar kearah layar. Pancaran sinar layar tak elak membuat matanya menyipit. Tanpa perlu melihat nama yang tertera pada layar, ia langsung menyentuh tombol untuk mengangkat telpon dan menempelkan ponselnya ke telinga.

"Halo," ujar Naya dengan suara serak khas orang yang terpaksa diseret keluar dari dunia mimpi.

"Shanay," sahut lelaki di ujung telpon. Meski suaranya terdengar lirih, Naya langsung bisa mengenali siapa orang di ujung telpon. Sontak, Naya bangun dari posisi tidur. Matanya yang tadi enggan terbuka bahkan kini jadi terbuka lebar.

"Arya?!" pekiknya. "Lo tuh kenapa baru nelpon gue sekarang? Ke mana aja, sih? Ngapain pake acara nge-block gue segala?! Gue kan jadinya ga bisa ngehubungin lo!?" protes Naya.

Lelaki dengan selang oksigen yang masih setia membantu pernapasannya itu terkekeh pelan. "Maaf, Shanay. Arya sengaja biar Shanay fokus belajar ujiannya."

"Tapi ga pake nge-block juga, ih!" sungut Naya. "Gue jadi ngiranya lo marah sama gue!"

Arya terkekeh sebentar diikuti dengan batuk kecil di belakang. "Kenapa Arya harus marah sama Shanay coba?"

"Ya ga tau, siapa tau terakhir ketemu gue ada salah ngomong atau gimana," tutur Naya. Jeda sebentar, baik Naya maupun Arya sama-sama diam. Naya menggigit bibir bawahnya sendiri. Hatinya menyalak ingin menumpahkan kerinduannya pada sosok di ujung telpon.

"Besok Shanay bisa dateng ke sini?" tanya Arya.

"Bisa dong!" tanggap Naya. "Kan emang bakal ke situ besok, sesuai janji yang minggu kemarin."

Lalu hening lagi. Satu yang terdengar jelas adalah deruan napas Arya yang seperti tersengal-sengal. Mendadak desir kekhawatiran merangsek masuk ke benak Naya.

"Arya, lo kenapa? Are you okay?" cemas Naya. Lelaki di telpon tersebut terbatuk beberapa kali, pada batuk terakhir bahkan kentara sekali ia menahannya supaya mereda.

"Arya?" ulang Naya. Kini raut khawatir sudah sangat jelas terukir. Naya hanya butuh satu jawaban saja dari Arya yang menyatakan bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja, maka ia akan langsung melesat ke tempat Arya sekarang.

Sebuah helaan napas berat Arya lepaskan. "Enggak, Shanay. Arya enggak baik-baik aja." Nada bicara Arya terdengar getir.

"Gue ke sana ya?" ucap Naya. Ia bahkan sudah beranjak dari tempat tidur, berniat menyambar hoodie warna apricot yang tersampir di kursi belajarnya.

SM : AATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang