59

160 13 2
                                    

Lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada terus mencacai dalam kegelapan

****

Pagi ini Athala diantar sekolah oleh Alvando atas permintaan Alvando sendiri. Entah kenapa gadis ini mau dan langsung saja mengingiyakan.

Ini masih sangat pagi!

Gadis ini terdiam melamun. Lagi-lagi semalam ia tak memejamkan mata, ia hanya menangis dan menangis di hari ulang tahunnya.

Bahkan tak ada niatan sedikitpun, dia menyentuh kado-kado dari siapapun.

Kini semua kembali, kembali miris, ia memejamkan mata, air matanya kini merembes tanpa malu di hadapan Alvando.

"Kenapa?" tanya Alvando mengusap air mata itu dengan jempolnya. Athala masih enggan untuk membuka mata.

Eve menatap Athala dan Alvando dari jendela kamarnya, dan terlihat Athala menaiki motor Alvando dan mereka tak terlihat lagi.

"Kamu kenapa, sih?" tanya Citra yang daritadi menatap Eve berdiri tanpa kejelasan di depan jendela.

Gadis berambut pirang ini langsung cepat menggeleng.

"Sebenarnya selama ini apa yang sih yang terjadi, Ma?" tanya Eve menatap Citra yang mematut diri di cermin.

Eve berjalan menuju kasur dan duduk di pojok kasur, tepat di belakang Citra yang di meja rias.

"Kamu mau cerita yang mana?" tanya Citra kemudian.

"Ya semuanya lah!" sahut Eve.

"Mama tuh sebenarnya udah pernah ketemu sama Athala." Eve menatap Citra lekat.

"Tapi Mama sengaja untuk gak izinin dia buat kasih tahu siapapun, karena kalau kamu tahu keadaan Mama pada saat itu kamu pasti gak kuat lihatnya," lanjut Citra.

Citra berbalik menatap Eve.

"Mama minta maaf, sebenarnya itu rumah kamu sama rumah mama itu mama jual, jadi pada waktu—"

"Jadi yang jual rumah itu, Mama?!" kaget Eve menyela ucapan Citra.

"Ya ampun, Ma! Mama tiba-tiba pergi, aku datang ke rumah pada saat—"

"Iya ... Dengerin dulu Mama cerita!" sela Citra dengan berdiri.

"Jadi, Mama terpaksa jual karena buat menghidupi Mama saat pergi, kamu pikir saat pergi gak bawa uang Mama mau kemana? Mau jadi apa?" Citra berjalan menuju jendela kamar.

Terdengar helaan nafas kasar dari Eve setelah pengakuan Citra itu.

"Dari dulu, kita selalu hidup dari uang  papa yang diberi kepada kamu setiap bulan, kita berfoya-foya terus, dan sisa uang itu habis begitupula uang jual rumah."

"Mama gunain uang sisa yang Mama punya untuk sewa kontrakan, bulan berikutnya Mama diusir karena udah gak punya uang dong buat bayar lagi."

"Mama jadi gelandangan," ujar lirih Citra membuat Eve menutup mulut dengan kedua tangan.

"Berhari-hari Mama hanya mengemis di lampu merah, dan kadang uangnya pun diambil oleh preman," ucap Citra terisak.

Tentang Athala [PROSES REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang