52. Nostalgia

450 84 1
                                    


Jangan lupa vote dan komen ya gais!

Selamat Membaca



Setelah mengantar Rara pulang ke rumahnya dengan selamat tanpa lecet sedikitpun, senyum Ali belum juga luntur.

Tadi ia sempat bertemu Rani, ibunya Rara. Rani mengatakan pada Ali bahwa mereka masih boleh berteman kembali asal jangan dulu menjalin hubungan, Ali menurut saja. Lagian mereka masih SMA, banyak yang perlu di kejar.

Motor Ali berhenti di pekarangan luas rumahnya. Keningnya menjerit melihat mobil putih terparkir di depan rumahnya membuat Ali menelan salivatnya. Ali sempat melirik satpam rumahnya dan sang satpam hanya menggelengkan kepalanya kecil merasa takut.

Ali melepaskan helmnya melihat siapa yang keluar dari mobil tersebut. Dan benar saja, Lidia keluar dan jika dilihat dari mimik wajahnya sudah pasti tengah murka.

"Kenapa ada disini?" tanya Ali dengan suara tenang namun dengan intonasi yang tegas.

Oh iya. Setelah putus dengan Rara, hubungan Ali dengan Lidia menjadi lebih baik mungkin karena seringnya mereka bertemu lewat Selia. Sebenarnya Ali masih diambang kebingungan, dirinya masih belum menerima penuh Lidia kembali.

"Lagi-lagi kamu mencampakkan Selia."

Ali memejamkan matanya sebentar. Cewek itu pasti sudah ngadu yang tidak-tidak pada Lidia.

"Aku gak masalah kalau temenan sama dia tapi kalau hubungan yang lebih aku gak bisa."

"Kenapa??" Lidia berdecak memalingkan wajahnya merasa tak tahan.

"Aku gak bisa. Cinta itu bukan permainan yang seenaknya bisa bermain disana sampai suatu waktu dipaksa berhenti."

"Tau apa kamu soal cinta."

"Aku emang bodoh soal cinta tapi aku bukan kedua orang tuaku yang mempermainkan sebuah pernikahan," ucap Ali tegas merasa tak tahan.

Lidia mengeratkan rahangnya merasa kesal dengan apa yang Ali ucapkan. "Siapa yang ngajarin kamu bicara kayak gitu sama orang tua kamu sendiri? Harlan? Atau gadis bernama Lentera itu?"

"CUKUP MAH! Jangan bawa-bawa Rara dalam masalah ini. Ali cape! Terserah mamah mau ngomong apa."

Plak.

Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Ali. Pipi Ali terasa memanas namun Ali berusaha kembali menatap Lidia.

"Terus bela gadis itu! Lupakan ibu kamu yang melahirkan kamu ini! Mamah emang punya banyak dosa sama kamu, mamah emang gak pantes buat ngatur kamu tapi asal kamu tahu mamah sangat sayang sama kamu."

Ali menatap Lidia tanpa ekspresi apapun. Panas di pipinya perlahan menjadi perih dan saat tangan halus itu menamparnya dengan ringan menjadi terekam di kepala Ali, ibarat film yang terus berputar.

Ali membalikan tubuhnya pergi meninggalkan Lidia yang mematung memandangnya.

Saat sampai di dalam rumah. Ali berlari pergi ke kamarnya. Air matanya sudah membasahi pelupuk matanya, dengan segera Ali mengusapnya.

Aliendra [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang