•Part 20|| Tumbang

31.2K 2.2K 7
                                    


"Udah ya Ra, uring-uringannya! Panas tau kuping Mbak dengerin kamu mencak-mencak gak jelas dari kemarin. Padahal sendirinya tau, alasan si suami gak ngehubungin."
Dewi menatap jengah Fara yang tengah guling-guling di tempat tidur akibat kesenangan. Setelah menerima telepon dari sang suami.

"Namanya juga lagi rindu Mbak. Berat."
Fara tidak menampik. Memang begitu faktanya, maklumi saja ini adalah pertama kali dirinya pergi keluar kota setelah menikah. Memang bukan hal pertama baginya, berpergian keluar kota atas tuntutan pekerjaan. Dalam setahun bisa hampir setiap bulan pergi ke satu kota ke kota lain untuk memenuhi panggilan acara atau sekedar menghadiri sebuah event. Seperti saat ini ada event tahunan yang tidak ingin dirinya lewatkan. Bersamaan itu ada juga beberapa seminar dan workshop yang mengundang dirinya selama satu minggu di luar kota. Walaupun awalnya ragu, mengingat apa statusnya sekarang tapi itu tidak menjadi penghalang saat Alvin memberinya ijin. Dan ini mungkin resikonya. Perasaannya tidak bisa menolak saat rindu menghampiri.  

"Terus kamu bilang sama suami kamu, jangan rindu, berat biar kamu aja disini. Dan kuping aku jadi korban rengekkan kamu yang lagi nahan rindu sampai meleber kemana-mana. Iya gitu?" Dewi kembali mencibir.

"Sekarang tahun dua ribu dua puluh Mbak, bukan sembilan belas sembilan puluh." Fara memberi alasan klise.

"Dan kamu persis seperti salah satu adegannya."
Fara lagi-lagi tergelak mendengar lontaran sarkas Dewi yang terus misuh-misuh, karena tidak terima sebagai korban pelampiasan kerinduannya.

"Mbak kayak gak pernah ada di posisi aku aja."

"Yang jelas Mbak gak separah kamu."

"Iya Mbak iya."
Fara memilih mengalah, toh percuma dilanjutkan pun mustahil untuk menang.

Sejurus kemudian Fara menarik Dewi untuk berbaring di sisi nya. "Tidur yu Mbak, udah malem. Besok kita harus pergi pagi-pagi loh."

"Salah kamu, aku jadi ikut begadang. Tau gini kita dari awal pisah kamar."

"Yang ngajakin kita sekamar, Mbak ya! Bukan aku, mohon di ingat!"
Fara tergelak, ini pertama kalinya Dewi protes masalah satu kamar. Karena biasanyapun jika melakukan perjalanan bersama. Rekannya itu anteng-anteng saja.

Dewi membantah. "Yang ngajakin irit siapa ya?"

"Terbukti, ajakan aku bikin target pengeluaran kita berkurang."

"Lagian aku heran, suami tajir, penjualan buku laris, masih aja ngirit soal pengeluaran."

"Istri itu harus pandai mengatur pengeluaran Mbak. Beli yang seperlunya aja."

"Halahh, Handbag dua puluh juta apa kabar? Itu yang namanya ngirit." Dewi kembali mencibir.

"Lain urusan Mbak." Fara mengelak.

"Terserah deh Ra. Lebih baik aku tidur, daripada tensiku naik, kalau terus ngomong sama kamu."

"Jahat Mbak."

"Tidur Ra!"

...........

Alvin mengerejapkan kedua netranya. Perlahan tapi pasti manik hitam legam itu terbuka. Seketika Aroma obat yang menyeruak, nuansa ruangan yang berwarna putih, ditambah dengan alat-alat medis yang sebagian berada pada tubuhnya, langsung menyambut kesadarannya.

Rumah sakit.

Alvin mendengus, ia mulai mencoba memutar kepingan-kepingan kejadian yang membuatnya bisa terdampar di tempat yang tidak disukainya ini.
Ceroboh!
Ia mengumpat pada dirinya sendiri. Kenapa hanya demi kerjaan ia sampai melupakan kondisi kesehatan tubuhnya. Jam istirahat yang berantakan dan pola makan yang tidak beraturan, adalah alasan pasti untuk keadaannya saat ini.

Perfect With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang