{SELESAI}
Bagiku, Hujan menyenangkan. dingin, segar, dan nyaman. Namun, tidak dengan petir. Aku benci petir--Reina Putri Kartika.
Bagiku, dia adalah hujan yang indah. aku menyukai senja, namun hujan lebih menarik untuknya--Elvano Abrisam.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sarra
®®®
Kamu boleh memaki, menjelekkan, bahkan menghina aku. Tapi, jangan pernah menghina orangtuaku.
®®®
Reina tidak terima. Ia marah. Siapa pun tidak akan tinggal diam jika kedua orangtuanya dihina. Hatinya sakit ketika kasus pembunuhan dan pencurian yang menimpa keluarganya harus tersebar ke mana-mana. Dunia Reina yang ia bangun semenjak ditinggal Mama dan Papa runtuh dalam hitungan detik. Ia tertatih menata kepingan hidup, namun dengan mudahnya Sarra menghancurkannya. Apakah itu adil?
Reina menangis sambil tergesa-gesa menuju kelas XI Ipa 1. Hatinya berdenyut nyeri. Kejadian Mama yang meninggal karena dibunuh adalah kenangan pahit. Papa yang terbunuh oleh pencuri karena berusaha menyelamatkannya. Rasa sakit Reina terlalu dalam. Siapa yang tahan diposisinya? Siapa yang tidak menangis melihat kedua orangtuanya terbunuh?
Tangan Reina mengepal erat. Urat-urat di tangannya terlihat jelas. Air matanya semakin memburu dan berdesakan keluar. Salahkah jika saat ini Reina menyimpan dendam dengan Sarra? Perempuan itu lancang melewati batasannya.
Brak!!
Pintu kelas XI Ipa 1 terbanting keras. Semua penghuni kelas menatap seseorang yang marah di ambang pintu. Reina tidak dapat menahan amarahnya lagi. Kini, matanya menatap tajam Sarra di pojokkan kelas dengan headset yang menempel di telinga.
Reina berjalan ke arah meja Sarra. Ia menarik paksa headset Sarra hingga terlepas dari handphone dan membuangnya ke sembarang tempat. Tatapan tajamnya menatap Sarra dengan amarah yang tak terkendali.
"Apa maksud lo, hah?! Gue diem bukan berarti lo bisa seenaknya! Lo boleh menyakiti gue, lo boleh menghina gue, lo boleh buang gue, tapi gue gak bakalan biarin lo nyentuh orangtua gue!" Seru Reina dengan air mata yang terus mengalir. Ia menekankan setiap kata dalam ucapannya.
Sarra berdiri dari tempat duduknya. Ia menatap Reina dengan tatapan mengejek. Senyumannya seakan-akan merendahkan dan menjatuhkan Reina ke jurang terdalam.
"Lo harus ganti headset gue." Ucap Sarra santai.
"SARRA!"
"Apa, sih? Gue punya telinga, gak usah teriak-teriak." Sarra tersenyum miring. "Buat apa belain orang yang udah mati, huh? Mereka udah gak---"
Plak!
Seruan tertahan terdengar samar-samar. Pasalnya, selama ini tidak ada yang berani menyentuh Sarra. Apalagi sampai menampar pipinya. Jika hal itu terjadi, bisa dipastikan hidup orang itu tidak akan tenang.