Play this music
Llodra - Gemintang hatiku"Hati ini terbius candu asmaramu.
Namamu melintang di hatiku.
Kemilau gemintang di hatiku."®®®
Jatuhkan aku, maka aku akan bangkit lagi.
Buang aku, maka aku akan kembali untuk berhadapan denganmu.
Sekali saja kau membuangku, seribu kali aku kembali.
Sekali saja kau menjatuhkanku, seribu kali aku bangkit.®®®
Suara pintu berderit berbunyi nyaring. Kepala Reina melengok ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang lagi. Jam dinding berdentang menunjukkan pukul 00.05 WIB. Reina yakin, Eyang Sari sudah terlelap dalam mimpi indahnya.
Setelah kejadian di mana Sarra mengguyur Reina dengan air bekas cucian, ia berusaha menghindari pertemuan dengan Sarra. Sebagai manusia normal, Reina tidak ingin berhadapan dengan perempuan bar-bar itu. Perempuan yang tidak mau dikalahkan dan tidak mau mengalah. Selalu ingin menang sendiri. Menjadikan manusia sebagai mainan untuk menyenangkan hatinya.
Reina melangkah keluar dari kamar. Ia menarik tali yang menggantung di atap, kemudian muncul tangga darurat menuju loteng. Sekali lagi, Reina celingak-celinguk, memastikan Eyang Sari tidak bangun dari tidurnya.
Di loteng terdapat kardus bekas, barang bekas, dan pakaian bekas. Bisa dibilang, loteng adalah tempat penyimpanan barang atau gudang. Reina berjalan pelan ke arah jendela, kemudian membukanya. Perempuan itu meloncat keluar dari jendela dan berjalan di atap rumah.
"Hidup kok susah banget, ya? Ribet. Banyak banget cobaannya. Ngelakuin ini, salah. Ngelakuin itu, juga salah. Terus, yang bener yang mana?" Reina bermonolog sendiri menatap hitamnya langit.
Seminggu berlalu. Sarra menjadi momok menakutkan bagi Reina. Sebisa mungkin, ia menghindari Sarra. Setiap kali ada Sarra, Reina ngacir ke tempat lain. Untung, Sarra tidak ribet dengan mencarinya. Perempuan itu terlihat cuek bebek dan menjalani hidup tanpa rasa bersalah.
"Gue pengen nyerah aja. Sarra buat gue frustasi. Dia itu kayak setan. Tiba-tiba nonggol, terus nakutin. Gue capek lari-lari terus. Dikira gue suka lari apa, ya?"
Reina memutuskan duduk di atas genteng. Menatap langit yang mendung, namun tidak hujan. Bintang hanya terlihat satu atau dua saja. Bulan juga tidak terlihat, mungkin tertutup awan.
"Mama sama Papa lagi apa? Reina kangen." Ucap Reina. "Ma, Reina pengen cerita. Reina itu capek. Di sekolah, Reina dibenci semua orang, termasuk Nana. Reina gak tau harus ngelakuin apa. Nana ngejauhin Reina gitu aja."
Reina menatap rumah Nana yang bersebelahan dengan rumahnya. Lampu kamar Nana padam yang berarti pemilik kamar sudah tertidur.
"Papa baik-baik aja, kan? Reina titip Mama, ya? Jangan buat Mama nangis. Oh iya, syurga itu indah banget ya, Pa? Reina boleh main ke sana?" Reina masih nyaman berbicara sendiri. Ia tidak tahu jika orang lain melihatnya seperti ini, ia akan dituding sebagai orang sinting. "Pasti Papa bilang, gak boleh, sayang. Di sini tempat Papa sama Mama. Tempat kamu bersama Eyang, temani Eyang, ya?" Reina menirukan cara bicara Indra--Papa Reina.
Lenggang sejenak. Suara hewan tengah malam bersaut-sautan memanjakan telinga. Tiba-tiba, bayangan Elvano melintasi pikiran Reina. Perempuan itu berdecak kesal. Mengapa harus Elvano? Kalau dipikir-pikir, masalah Reina muncul karena ia terlalu sering memikirkan Elvano dan mengabaikan yang lain.
"Elvano di mana, ya? Itu cowok demen banget ngilang kayak bolpoin gue yang ilang di kelas." Oceh Reina kesal. "Untung ganteng, kalo jelek udah gue sleding kepalanya. Terus gue plorotin celananya biar kapok. Lagian, hati gue dikira mainan apa? Seenaknya aja ngilang kayak sandal swallow tetangga sebelah."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Kala Senja
Teen Fiction{SELESAI} Bagiku, Hujan menyenangkan. dingin, segar, dan nyaman. Namun, tidak dengan petir. Aku benci petir--Reina Putri Kartika. Bagiku, dia adalah hujan yang indah. aku menyukai senja, namun hujan lebih menarik untuknya--Elvano Abrisam.