26. Senja

143 13 1
                                        

Happy reading!
Jangan lupa vote, comen, dan share ke temen kalian 🥰

Happy reading! Jangan lupa vote, comen, dan share ke temen kalian 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

®®®

Kamu bilang dia sahabatmu, tetapi intuisiku berkata dia sangat berarti untukmu.

®®®

Suara gaduh mengintrupsi gendang telinga nenek tua yang pendengarannya masih tajam. Kakinya bergerak cepat menuju sumber suara. Menurut instingnya, suara gaduh itu bermuara di dapur. Eyang Sari khawatir kucing Mang Jamal mengusik lauk pauk yang ia buat tadi pagi. Jika dalang dari suara gaduh itu adalah kucing belang milik Mang Jamal, ia tidak segan-segan melempar sapu. Di saat seperti ini, sapu melayang lebih dibutuhkan untuk mengusir kucing belang.

"Kucing garong! Pergi dari sini!" Eyang Sari berteriak memaki kucing belang Mang Jamal. Tangannya siap melempar sapu ke arah dapur, namun, terhenti. "Loh, Reina? Ngapain kamu di sini?"

Reina menatap Eyang Sari datar. Ia tidak peduli dengan teriakan neneknya yang mengira bahwa ia adalah kucing garong. Toh, setiap hari Eyang Sari memaki Reina lebih dari itu. Entah, kebo pemalas, bebek nyungsep, atau jaran nungging. Telinganya terlatih mendengar hujatan dari Eyang Sari. Jadi, sebutan kucing garong tidak ada artinya.

"Kucing belang Mang Jamal mati kemaren. Reina baru aja ngelayat. Kasian. Jadi, Reina kasih beras sekilo sama gula ke Mang Jamal." Ungkap Reina dengan santainya.

"Kamu kasih beras sama gula?"

Reina mengangguk polos. Belum sempat menghindar, kepala perempuan itu sudah beradu dengan gagang sapu yang dipegang Eyang Sari. Nyeri akibat pukulan itu membuat bibir Reina mengerucut kesal.

"Eyang kenapa pukul Reina?" Tangan mungilnya mengusap kepala yang berdenyut perih.

"Pinter dikit gitu, loh. Kucing mati gak sama kayak manusia meninggal. Jangan disamain. Gak usah disumbang beras sama gula, keenakan Mang Jamal."

"Kasian, Eyang. Kucing Mang Jamal itu masih punya anak. Kalo ibunya mati, anaknya yang ngurus siapa?"

Eyang Sari memijat pelan keningnya. Kebodohan cucu perempuannya membuat ia ingin mencekik leher orang. Jika kesabarannya tidak setinggi langit, ia akan melelang Reina di pasar pelelangan ikan.

"Udahlah! Terserah kamu aja." Eyang Sari menggerakkan tangannya tidak peduli. Jika dituruti, tingkah Reina akan semakin bodoh. Ia tidak mau berurusan dengan kebodohan cucunya. Capek.

"Hmm."

Reina berdehem untuk menyudahi percakapan unfaedahnya. Perempuan itu fokus pada peralatan di dapur. Ia mengeluarkan oven dan loyang, kemudian mencari tepung terigu, gula, margarin, telur, dan keju.

Hujan di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang