12. Senja

187 15 4
                                        

Kamu di mana?
Aku rindu.

®®®

Beberapa hari kemudian, setelah insiden menabrak Sarra, Reina sering melamun. Bukan karena takut Sarra akan melakukan pembalasan, melainkan karena bayangan Elvano tidak mudah dienyahkan dari pikirannya. Ia selalu bertanya di mana Elvano? Mengapa laki-laki itu tidak terlihat beberapa hari ini?

Jam dinding menunjukkan pukul 11.40 WIB. Bu Rina--guru matematika--sedang menjelaskan tentang angka dan rumus yang sulit dipahami. Membosankan. Ia benci angka-angka itu. Otaknya tidak mudah menerima angka yang menurutnya rumit.

Reina berusaha bersabar. Lima menit lagi pelajaran matematika ini akan selesai.

"Rein, lo gak papa?" Nana menyenggol tangan Reina. Sedari tadi, perempuan di sampingnya menopang dagu. Menatap Bu Rina dengan tatapan kosong. Ia khawatir sahabatnya hilang akal.

"Hmm?" Dengan malas, Reina menoleh ke arah Nana.

"Lo sakit? Kok, kayak kuntilanak?"

"Anjirr .. Lo ngatain gue kuntilanak?"

"Emang kenyataannya gitu." Nana menempelkan telapak tangannya ke dahi Reina. "Lo beneran gak papa, kan?"

Reina memutar bola mata malas. "Gue kesurupan setan."

"SUMPAH? DEMI APA?!"

"Sssstttttt!" Reina membekap mulut Nana dengan telapak tangannya, kemudian tersenyum ke arah Bu Rina. Wanita itu berhenti menjelaskan rumus matematika dan fokus menatap dua anak didiknya.

Bu Rina berjalan pelan menuju meja Reina dan Nana. Bak putri raja, Bu Rina berjalan dengan anggun. Tatapannya datar. Tidak ada kesan marah ataupun senang.

"Kalian tidak sopan." Ucapnya dengan tegas. "Kalian tidak diajarkan sopan santun? Di sekolah ini kalian tidak diajari bagaimana cara menghargai guru yang ada di depan kelas?"

"Maafkan kami, Bu. Kami tidak bermaksud berbicara ketika pelajaran  berlangsung." Nana menjawab pertanyaan Bu Rina dengan sopan, meskipun tangannya bergetar hebat.

"Untuk Nana .. " Bu Rina menoleh ke arah Nana. "Ibu maklumi karena kamu pintar dalam pelajaran matematika. Tapi bukan berarti kamu seenaknya berbicara sendiri. Apakah kamu sudah merasa lebih pintar dari saya?"

Nana menggeleng pelan sambil menunduk dalam. Suasana kelas berubah menjadi hening. Tidak ada satupun murid yang berbuat ulah. Mereka takut memicu kemarahan Bu Rina.

"Reina .. " Bu Rina kembali menoleh ke arah Reina. Kali ini, tatapan Bu Rina seakan-akan mampu melubangi kepala perempuan itu.

"Iya, Bu?"

"Kamu tahu nilai matematikamu berapa, Nak?"

Reina menggeleng sebagai tanda tidak tahu-menahu tentang nilai matematika.

"Nol."

Reina mendongak menatap Bu Rina dengan tatapan tidak percaya. Suara cekikikan menertawakan nilai matematikanya terdengar samar-samar.

Nilai matematiknya nol?

'Gue se-bego itu, ya? Sebenarnya otak gue berfungsi apa enggak, sih? Kok gue ngerasa baik-baik aja punya otak kek gini?'

"Seharusnya kamu tidak berbuat ulah atau kamu menginginkan nilai minus, Reina? Kamu tidak ingin hal itu terjadi, bukan?"

Minus?

Yang benar saja!

Bukannya bertambah baik, malah berubah mengenaskan. Reina yakin, setan takut pada nilai matematikanya. Setidaknya nilai nol masih ada manfaatnya--sebagai penangkal setan.

Hujan di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang