15. Hujan

160 13 6
                                    

Selamat membaca! 🥰

Jangan lupa tinggalkan jejak ya!

®®®

Kamu dan duniamu adalah dua hal yang sulit kujajaki
Duniamu yang penuh warna tidak cocok bersanding dengan duniaku yang tidak berwarna.

®®®

Reina menatap dirinya sendiri di depan cermin. Cairan bening keluar dari sudut matanya. Semakin deras dan terlalu banyak untuk dihentikan. Hatinya terasa sesak. Berulang kali ia memukul dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Ia bahkan tidak dapat mencegah pikirannya yang melalang buana.

Mengapa ia merasakan sesak ini? Bukankah perasaannya terlalu berlebihan? Seharusnya ia tidak lari dan menghindari Elvano. Sejak kapan ia berubah menjadi pengecut yang bersembunyi di balik dinding?

Reina membasuh wajahnya dengan air di wastafel. Keadaanya sangat menyedihkan. Ia membersihkan bercak tangis agar tidak berbekas. Jika Nana tahu ia menangis, perempuan itu akan meminta pertanggungjawaban Elvano. Nana selalu bertingkah seakan ia adalah sosok ibu dalam kehidupannya.

Ponsel Reina bergetar lama. Bibirnya berdecak kesal. Tanpa melihat nama si Penelepon, ia sudah tahu jawabannya.

"Halo?"

"LO KE MANA AJA, SIH?! GUE CARIIN GAK ADA DI MANA-MANA! LO MAU BUNUH DIRI, HAH? REINA, LO GAK COBA BUNUH DIRI, KAN?!"

Teriakan Nana membuat gendang telinga Reina hampir pecah jika ia tidak segera menjauhkannya. Sahabatnya memang tidak punya akhlak. Selalu teriak-teriak tidak jelas jika Reina pergi tanpa pamit. Ia sempat berpikir Nana adalah induk ayam, sedangkan dirinya adalah anaknya. Sikap overprotective perempuan itu melebihi ibu-ibu muda yang khawatir anaknya terluka.

"REINA?! LO BENERAN BUNUH---"

"Gue gak ada niat bunuh diri, Na! Pikiran lo off side sampe gak tertolong lagi. Makanya, jangan kebanyakan nonton drakor."

"Sekarang, lo di mana?"

"Kamar mandi di lantai dua."

"Oke, gue ke sana."

"Na, gue---"

Panggilan di ponselnya terhenti sepihak. Reina mendesah kesal. Ia harus bersabar. Jika bukan Nana, Reina tidak akan bersikap seperti ini. Mungkin, ia akan mencoba melakukan pembunuhan secara diam-diam pada orang yang membuatnya kesal setengah mati.

Langkah kakinya melangkah keluar dari kamar mandi. Ia berjalan beberapa langkah, namun gerakannya terhenti ketika menyadari tali sepatunya terlepas. Karena terlalu terbawa suasana, Reina tidak memperhatikan tali sepatunya. Belum sempat ia membenarkan tali sepatu, tangan seseorang lebih dulu membenarkan tali sepatunya.

"Biar gue aja yang nali." Ungkapnya sambil membenarkan tali sepatu Reina. Elvano berjongkok. Beberapa detik kemudian, tali sepatunya terikat rapi.

Elvano mendongak menatap Reina yang mengalihkan pandangan ke arah lain. Senyumannya semakin menawan jika dilihat dari jarak dekat. Ia berdiri dengan senyuman yang masih terkembang. Manis. Dua lesung pipi itu tercetak sempurna.

Hujan di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang