Prolog

983 224 286
                                    

Aku menunggu hujan, meskipun kedatangannya kerapkali tidak diharapkan

®®®

Gelapnya malam membelengu langit. Bintang dan bulan menjadi lentera di kegelapan. Bagaikan berlian bertaburan, manusia ingin memungutnya satu untuk disimpan.

Angin malam berhembus pelan. Melambai-lambaikan dedaunan, menerpa kulitnya yang lembut. Rambutnya pendek tetapi hitam, legam, dan lebat. Tubuhnya berbalut sweater merah jambu. Bibirnya mempesona, kemerah-merahan dan merona.

Tangannya sesekali saling menggesek untuk menghangatkan satu sama lain. Matanya lebar dan penuh keceriaan menatap sang langit. Dalam hati kecilnya, ia memanjatkan doa.

Pukul 00.00 WIB. Tengah malam. Ia masih terjaga. Menatap langit yang cerah.

Suara binatang bersautan mengiringi malam, menemaninya menunggu kedatangan hujan. Orang-orang terlelap di atas kasur nyaman. Suara binatang menjadi pengiring tidur mereka.

Sebuah dengusan keluar dari bibirnya. Sepertinya hujan tidak ingin mengunjunginya kali ini.

Perlahan, kaki kecilnya berdiri. Berjalan hati-hati di atas atap genting yang rawan retak.

"ASTAGA!" Ia mengusap dada. Hampir saja ia memutuskan melompat dari atap rumah ini.

"Ngapain kamu di atap rumah lagi?" Suara datar Eyang Sari mengintrograsi. Kerutan dan keriput di dahinya semakin tajam menunjukkan kekesalan.

"Eyang! Ngagetin Reina aja. Kalo nanti Reina jatuh guling-guling terus kejedot tanah gimana?"

"Tinggal gali kuburan kamu, kan?"

"Eyang!" Reina bersungut-sungut.

Eyang Sari tidak peduli. Kepalanya melongok ke luar jendela yang menjadi akses Reina menuju atap rumah.

"Mau sampai kapan kamu melakukan hal konyol, Reina? Kamu mau bunuh diri?" Eyang Sari bersuara pelan dan datar, namun melalui suara itu Reina paham bahwa neneknya sedang marah besar.

Reina nyengir kuda. "Hehe .. Reina menunggu hujan, Eyang."

Eyang berdecih kesal. "Kamu tahu ini bulan apa? Ini bulan Juli, hujan tidak mungkin turun."

"Apa salahnya berharap?"

"Berharap boleh. Tapi, pake logika juga! Kalo begini caranya, nanti kamu sakit, Reina!" Suara Eyang Sari naik satu oktaf. "Ini sudah lewat tengah malam, gak baik seorang gadis di luar rumah, apalagi berdiri di atap rumah."

Reina menatap neneknya lempeng, kemudian beralih menatap dirinya sendiri.

"Apa salahnya aku berdiri di atap?"

Eyang Sari mengeluarkan napas kesal. "Turun sekarang!"

"Iya." Reina bergumam pasrah.

Reina berjalan hati-hati di atas atap rumah. Ia berjalan menuju jendela di mana Eyang Sari berada.

Namun .. sandal tidur Reina yang bergambar kodok terjepit genting. Salah satu kakinya mencekal kaki yang lain. Reina kehilangan keseimbangan dan jatuh menimpa genting.

BRUGHH!

Reina meringis merasakan perih di sekujur badan. Eyang Sari tertawa terbahak-bahak. Sangking lucunya Eyang Sari memegang perut dan memukul jendela.

"Eyang!" Reina berusaha duduk di atas genting. Kedua kakinya disilangkan. "Bukannya nolongin, malah ketawa. Sebenarnya Reina cucu Eyang apa enggak, sih?!"

Eyang menyelesaikan sisa ketawanya. "Kamu itu kebanyakan tingkah! Gentingnya retak gak? Duh! Kayaknya harus diganti atau dibawa ke rumah sakit aja?"

"Eyangg!!" Reina menahan kekesalan.

"Udah, ah!" Eyang Sari mengibaskan tangannya cuek. "Besok panggil Mang Jamal buat ganti gentingnya. Eyang masuk dulu."

Eyang Sari menghilang dari jendela. Napas Reina naik turun menanggapi tingkah laku Eyang Sari yang tidak ingat umur. Reina kesal, namun ia tahu Eyang Sari sangat menyayanginya.

Bagaimanapun, Eyang Sari adalah satu-satunya anggota keluarga Reina yang tersisa. Eyang Sari yang merawat Reina sejak umur tiga tahun. Eyang Sari berperan sebagai orang tua Reina. Eyang Sari yang membuat Reina tidak kekurangan kasih sayang meskipun kehilangan kedua orang tuanya.

Reina berjalan menuju jendela. Lagi-lagi sandal kodoknya tersandung genting dan berguling jatuh ke tanah.

GEDEBUK!

"Aargh!!" Reina meringis merasakan punggungnya encok.

"Lho, Reina kamu sudah di sini?" Eyang Sari membuka jendela lantai bawah. "Kamu punya cara mudah buat turun dari atap, ya? Gimana caranya?"

Reina mendelik mendengar perkataan Eyang Sari. "Terjun pake parasut andalan Spombob."

"Ajari Eyang dong!" Eyang Sari berteriak antusias.

"Gampang kok, Eyang." Reina tersenyum geli. "Tinggal lompat dari atap, hehe .. "

Eyang Sari menggeram. Reina buru-buru memasuki rumah dan lari terbirit-birit menuju kamarnya.

Eyang Sari mengambil teflon dan mengejar Reina.

"REINA! JANGAN KURANG AJAR! SINI KAMU!"

"Wleeeee, gak kena .. " Reina menjulurkan lidah mengejek, kemudian menutup pintu kamarnya.

Eyang Sari terengah-engah. "Uang saku kamu Eyang potong seminggu!"

"Eyang jangan." Reina membuka pintu kembali. Ia memohon di depan neneknya. "Eyang, jangan potong uang saku Reina, please .. "

Eyang Sari bersikap angkuh dan berjalan menjauh. Keputusannya sudah bulat, mutlak, dan tidak bisa diganggu gugat.

Reina mengacak-acak rambutnya frustasi. "EYANG! BESOK REINA JAJAN APA?!"

"BODO AMAT!"

®®®

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN,
😚

Reina Putri KartikaNama Reina berasal dari bahasa Inggris rain yang berarti hujan, sedangkan Kartika adalah nama Ibu Reina

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Reina Putri Kartika
Nama Reina berasal dari bahasa Inggris rain yang berarti hujan, sedangkan Kartika adalah nama Ibu Reina.
Jadi, artinya seorang putri yang lahir dari rahim Kartika ketika hujan tiba.

Hujan di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang