20. Insiden

99 9 0
                                    

Saya berkarya. Untuk yang mau baca silahkan, yang suka boleh vote.
Sampaikan juga kritikan dan sarannya.
Terimakasih.

---

Sudah hampir satu jam Nata berdiri di depan ruang bernomor 14. Nata yang meminta agar dokter tidak menangani pasien yang dibawanya tadi ke ruang IGD. Gadis itu masih menggunakan seragam lengkap dengan tas yang tergantung di pundaknya. Belum ada tanda-tanda keluarnya tenaga medis yang akan memberitahukan keadaan pasien di dalam. Entah kabar baik ataukah kabar buruk.

Gadis itu menggigit kukunya. Ia sangat benci dengan rumah sakit. Ia tidak suka bertemu anak-anak kecil yang masih berlarian di sepanjang lorong rumah sakit. Lagi-lagi seorang anak kecil datang kepadanya sambil menarik tasnya. Ingin sekali Nata memaki anak kecil itu, namun melihat sang ibu yang berjalan dari belakang, ia mengurungkan niatnya.

"Maaf ya dek, anak saya bosen di ruangannya, jadi dia malah jalan-jalan kesini. Sekali lagi maaf ya." Ujar ibu itu setengah memohon.

"I..iya bu. Lagian anak ibu gak nakal juga kok." Nata berbohong. Sebenarnya ia membenci kehadiran anak itu di hadapannya, mau bagaimana lagi, apa ia harus jujur mengingat anak itu sedang sakit.

Ibu dan anak itu berlalu dari hadapan Nata.

Perasaan Nata semakin tak karuan. Jika bisa, ia ingin sekali mengetuk pintu ruang IGD agar salah seorang dari mereka yang ada di dalam keluar membawa kabar baik. Tapi, mengetuk pintu ruang IGD adalah ide konyol yang dimunculkan oleh pikirannya.

Tak berapa lama, keluarlah seorang dokter beserta tiga orang perawatnya. Mereka menampakkan raut wajah kecewa.

"Dok, gimana keadaan temen saya?" Tanya Nata panik. Gadis itu tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya melihat ekspresi dokter itu.

Dokter itu mengangguk. "Pasien sudah sadar. Tetapi dia kurang baik, ada cedera di kakinya, ia akan kesulitan berjalan selama beberapa bulan lamanya."

Nata mengernyit, "Maksud dokter?"

"Dia lumpuh sementara. Benturan di kakinya cukup parah, jadi ia harus menggunakan kursi roda untuk beberapa hari ke depan." Ujar dokter itu.

Nata tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia menerobos masuk ke ruang IGD, menabrak dokter dan suster yang masih berdiri di depan ruangan itu.

Nata berhenti di sebuah ruang yang ditutup gorden. Gadis itu menatap seseorang mengenakan kemeja pendek dengan celana robek di bagian lutut.

"Fani!" Teriak Nata tanpa bisa menyembunyikan rasa sedihnya mendapati keadaan sang sahabat.

Fani diam. Ia terduduk dengan tatapan kosong ke arah langit-langit rumah sakit. Tangannya terkepal erat. Sedikit demi sedikit air matanya mulai keluar.

"Fani? Kenapa lo lakuin hal gila kayak gini? Kenapa lo gak mikir dua kali sebelum bertindak?" Nata merutuki Fani akibat hal gila yang dibuatnya.

Fani menangis tanpa suara. Matanya memejam sambil memegang selimut dibawahnya dengan erat. "Gue mau mati aja!" Ujarnya spontan membuat Nata dengan cepat memeluk gadis berambut navy itu.

"Gue gak mau lo mati. Gue sayang sama lo, gue gak mau kehilangan sahabat terbaik gue." Nata tak bisa membendung air matanya lagi. Ia menangis sembari memeluk tubuh Fani.

TEMPRAMENTAL (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang