52. Pamit

68 3 0
                                    

"Petak umpetnya udah selesai. Nona cantik bisa bangun sekarang." ujar Bagas sambil tertawa

"Petak umpet?" Nata yang baru saja mengembalikan kesadarannya heran dengan ucapan Bagas.

Bagas menggeleng, ia tertawa kecil, "udah, lupain aja lah."

"Bentar deh, gue kok jadi bingung gini sih. Perasaan gue tadi mau ziarah ke makam mbak Ana, dan … "

"Sandi?" Bagas melanjutkan ucapan Nata yang terputus.

Nata mengangguk.

Bagas menghela napas panjang.

"Kenapa tiba-tiba gue ada di rumah, dan kenapa ada Lo disini?"

"Lo kesurupan, untung gue dateng tadi."

"Hah? Kesurupan? Kok bisa?"

"Mana gue tau, Nat! Lagian Lo ziarah nggak bilang ke gue, tau gitu gue bisa nemenin Lo, ya sekalian jenguk Ana." Bagas sedikit canggung.

"Kok kedengerannya Lo kayak aneh banget nyebut nama mbak Ana. Apa Lo beneran mau lupain mbak Ana di hidup Lo?"

Bagas mengedikkan bahunya.

"Kenapa?"

Bagas menggeleng, "Entahlah."

"Gue pamit dulu ya, Nat. Gue denger Lo sama pak Hutama mau pindah ke desa Lo yang lama."

Nata mengangguk kecewa.

"Nggak apa-apa, Lo cuma tinggal berdua sama pak Hutama. Gue yakin Lo pasti kesepian, setelah Ana sama Sandi pergi dari hidup Lo, selamanya!" Bagas bergerak meninggalkan Nata di ruang tamu rumah Nata.

"Tapi gue punya Lo!"

Bagas berbalik, mencerna ulang ucapan Nata.

"Sorry, bukan maksud gue bilang kayak gitu."

"Karena Lo masih cinta sama Sandi, dan gue masih cinta sama Ana. Santai, waktu yang bakal ngatur semuanya."

Sampai kapanpun gue nggak akan pernah suka sama Lo, Bagas!

Nata menggeleng, "bukan, bukan gitu. Gue punya Lo sebagai sahabat gue."

Bagas tersenyum, "emang ya, perasaan nggak bisa dipaksain."

"Maaf kalo itu buat Lo tersinggung."

"Nggak masalah, udah terlalu sering juga kok. Gue pamit ya, take care disana. Kalo udah siap terima semua ini, jangan lupa balik lagi kesini. Ada gue yang selalu rindu sama Lo."

"Makasih, makasih buat semuanya. Gue sayang sama Lo, Bagas!"

Bagas tersenyum, ia berjalan keluar. Nata menatap punggung itu yang perlahan mulai menjauh, dan kini sudah tak terlihat lagi.

Waktunya pamit!

***

Bagas membanting tubuhnya ke sofa. Ibu Citra yang masih dalam suasana berkabung tampak khawatir dengan keadaan putra angkatnya itu.

"Ada masalah? Kalo ada masalah, cerita sama mama. Cukup Sandi aja yang pergi karena masalah, kamu jangan!" Bu Citra memelas.

Bagas mengangguk.

"Belakangan ini kita memang banyak masalah. Papa kandung kamu menuntut hak atas kamu. Terserah, kamu mau tetap tinggal sama mama kamu ini, yang jelas-jelas hanya orang tua angkat kamu, atau memilih kembali dengan papa kandung kamu."

TEMPRAMENTAL (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang