46. Benci

61 2 0
                                    

Ruangan bernuansa putih itu menyilaukan penglihatan Nata setelah beberapa jam matanya terpejam.

Gadis itu merintih menahan sakit pada bahu kanannya. Perban putih telah membalut lukanya dengan sempurna. Gadis itu teringat atas kejadian malang yang menimpa dirinya.

Kekerasan yang dilakukan oleh Fransiska Amelia dan Stefani.

"Masih sakit?" suara seorang pria menyadarkan Nata akan kejadian tadi sore.

Nata tidak menggubris.

"Udah malem, gak mau makan dulu?" pria itu mencoba menarik perhatian Nata.

Nata menggeleng, dari tindakannya, ia marah pada pria yang kini tengah menungguinya.

Pria itu duduk di samping tempat tidur Nata, "kenapa Lo berubah? Ini bukan Nata yang gue kenal dulu. Nata yang bisa lawan siapa aja tanpa rasa takut."

Ya, setidaknya Sandi bertanya tentang pertanyaan yang tidak seharusnya Nata jawab.

"Apa gue harus peduli sama kata-kata Lo?" sahut Nata sinis.

Sandi menggeleng sambil tersenyum, "sebenernya sih harus, karena gue yakin, semua pasti ada sebabnya."

Andai gue bisa jujur sekarang, gue pasti bilang kalo gue berubah karena Lo.

Nata tersenyum kecut, "apapun sebabnya, Lo gak perlu tau. Lagipula, Lo bukan siapa-siapa gue kan?"

"Bukan, gue bukan siapa-siapa Lo. Kita juga udah putus, dan bahkan Lo gak anggep gue sebagai temen lo, tapi ... "

Sandi menggantung ucapannya, sedikit keinginan yang berat untuk ia katakan.

"Tapi apa? Musuh? Mantan?"

"Pendamping hidup Lo!"

What? Mengesankan, tapi membosankan!

"Bercandanya lucu!" ujar Nata.

"Gak, gue gak becanda. Buktinya, gue masih disini jagain Lo. Tanpa gue, pasti Lo masih sendirian."

"Ada papa, ada mbak Ana, ada Bagas, ada pembantu gue, dan tanpa Lo pun gue gak bakal sendirian."

Sandi menghela napas pelan, "sayangnya, gue gak bilang sama pak Hutama, mbak Ana dan siapapun kalo Lo masuk rumah sakit."

"Kenapa gitu? Lo mau bikin mereka khawatir? Sekarang, mana HP gue?"

"Ada," jawab Sandi santai. "Gue udah bilang ke pak Hutama kalo Lo lagi ada urusan mendadak. So, gak ada alasan buat khawatir sama keadaan Lo."

"Bagus, sekarang gue minta Lo pergi!" Nata mengusir.

Sandi mengangguk paham, "oh gitu. Padahal, gue cuma minta waktu buat berdua sama Lo. Karena gue tau, pak Hutama sama papa gue lagi gak baik. Jadi bakal susah banget gue bisa berdua sama Lo!"

Nata diam tidak menggubris. Memang benar yang dikatakan Sandi, kedua orang itu menjadi hambatan antara dirinya dengan Sandi, lepas dari Siska dan kawan-kawan yang seolah menjadi malaikat maut bagi Nata.

"Gue tidur dulu ya, Lo kan baru bangun, jadi gantian Lo yang jagain gue!"

Heh, apaan coba. Siapa yang sakit, dan siapa yang jagain.

"Good night calon pendamping hidupku!"

Ewww...

Benar, Sandi merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia benar-benar menunggu Nata di rumah sakit. Pria itu masih mengenakan seragam sekolahnya, bahkan masih dengan dasi yang masih rapi.

TEMPRAMENTAL (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang