-Niall's pov-
"Niall," Liam menepuk pundakku. Ia menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh ke arah Liam yang sekarang sudah duduk di sebelahku.
"Are you okay?" tanya Liam seraya menyesap kopinya. Aku mengerutkan dahiku sejenak.
"Yeah i'm fine," jawabku pelan. Tidak yakin dengan perkataanku sendiri.
"Tidak perlu menyembunyikan rasa sedih dan galaumu Niall, aku tau kau sedang tidak baik-baik saja.."
"Hahaha memangnya aku kenapa Liam?" aku tertawa hambar.
"Apa kau marah pada Harry?" pertanyaan Liam membuatku sedikit terkejut. Kenapa Liam bertanya seperti itu?
"Marah pada Harry? Memangnya Harry melakukan apa?"
"Niall berhentilah berpura-pura. Aku tidak bisa melihatmu uring-uringan seperti ini. Kau sedikit menjaga jarak dengan kami sejak kembali dari resto tadi siang. Harry pun tidak bisa berhenti menanyakan keadaanmu. Ia merasa bersalah padamu. Naya menjadi pasangan untuk red carpet lusa bukan keinginannya, ia---"
"Aku tidak marah pada Harry, Liam.." potongku cepat. "Aku hanya.. Ah sudahlah" aku menghela nafasku kasar.
"Aku akan selalu siap mendengar keluh kesahmu Niall," ucap Liam lembut. Mempersilahkanku untuk mengeluarkan semua hal yang mengganjal diriku sekarang.
Aku mencengkram pagar balkon hotel dengan keras. Emosi dalam diriku naik turun sejak tadi siang. Sedih, kecewa, galau, dan bingung bercampur jadi satu. Aku tidak tau harus mengekspresikannya bagaimana. Aku hanya diam di balkon hotel seharian ini dan memainkan ponselku.
"Arghhh!!" aku mengacak rambutku frustasi.
Naya akan menjadi pasangan Harry pada red carpet lusa. Jujur aku sakit membayangkan mereka akan berjalan bersama. Publik akan menyimpulkan kalau mereka dekat dan kesempatanku bersama Naya akan menjadi lebih sedikit. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Itu keputusan management, dan artinya itu adalah sebuah perintah yang harus dipatuhi.
"Niall," panggil Harry dari pintu balkon.
Suaranya terdengar parau di telingaku. Aku menoleh ke arah Harry yang menatapku nanar. Bahunya sedikit bergetar. Menandakan ia habis menangis.
"Maafkan aku," tanpa basa-basi Harry memelukku lemah dan menangis di pundakku.
"Hey, kenapa kau menangis Hazz?" aku mengelus punggungnya lembut. Namun ternyata itu membuat tangisannya semakin menjadi-jadi.
Liam memberi kode akan meninggalkanku berdua dengan Harry. Aku mengangguk pelan menyauti kode Liam.
"A-aku sudah berusaha bilang pada Will supaya kau saja yang berpasangan dengan Naya, t-tapi--"
"Hei kenapa kau melakukan itu? Kita kan sudah sepakat akan saling berjuang secara sehat," aku memotong kalimat Harry.
"Tapi---"
"Tidak apa Harry. Lagipula itukan keputusan management. Aku paham kok.." kataku berusaha menenangkan Harry.
Mata hijau terangnya menatapku tidak percaya. Aku terkekeh melihat Harry sekarang. Rambut curly yang berantakan, mata yang memerah dan sedikit bengkak, lalu tak lupa t-shirt oversize membuatnya terlihat semakin lusuh.
"Aku sahabat yang bodoh ya?" tanyanya polos.
Astaga Harry. Walaupun kau menyakitiku karena kau sering dapat momen bersama Naya, tapi kau bisa juga membuatku gemas seperti ini.
"Siapa bilang kau sahabatku?" kalimatku langsung disambut dengan wajah terpelongo dari Harry. Aku tertawa terbahak-bahak melihatnya.
"Ahahaha, kau itu lebih dari sahabatku Harry. Kau keluargaku. Kau saudaraku. Kau saudara yang termuda tapi kau lebih seperti kaka untuk ku, dan kau sama sekali tidak bodoh.." aku tersenyum tulus pada Harry. Ia menundukan pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
what if...?
Фанфик[Completed] -- "What if... I call you that you're a Draiocht?" "What is that Niall?" "In Irish we say Draiocht for a magic!!" "Am i a magic for you?" "Yeah, everything about you is magic, Naya. Do you agree Harry?" "Yeah, I do Niall. But, we have...