-Naya's pov-
Kali ini aku sedang berada di studio untuk menemani sesi photoshoot The Boys. Mereka sedang bersiap-siap sekarang. Aku ikut membantu mereka juga tentunya.
"Louis, berhentilah menarik-narik sweatermu, itu akan membuatnya melar" omel Caroline Watson saat melihat Louis menarik-narik sweaternya. Ia adalah penata busana One Direction.
"Aku tidak ingin sweaternya terlihat seperti baru dibeli Carol,"
"Astaga Louis, kau harusnya senang bisa mengenakan pakaian baru tiap saat!" seru Niall sambil tertawa.
"Suka-suka aku Neil," Louis menjulurkan lidahnya pada Niall.
"Niall berhentilah bergerak, aku tidak bisa memfit-kan kaosmu.." Caroline menghela nafasnya sabar. "Oh ya Naya, bisa tolong bantu Harry pakaikan jasnya?"
Niall itu tidak bisa diam, makanya ia paling lama untuk didandani. Padahal ia hanya mengenakan kaos dan jaket saja.
"Okay," aku segera menuju Harry yang baru mengenakan kemeja hitam polosnya. Ia menenteng jas hitam yang akan ia kenakan.
Harry langsung memberikan jasnya padaku. Aku mulai membantu memakaikan jas hitamnya itu dengan hati-hati karena takut membuat jasnya menjadi kusut. And.. hap. Jas nya sangat fit di tubuh atletis Harry. Bahkan sedikit ketat di bagian lengannya.
"Thank you" ucap Harry singkat. Ia segera menuju ke arah Lou untuk ditata rambutnya.
"Hei tunggu Mr. Styles, kerahmu belum rapi," kataku seraya merapikan bagian kerah jasnya. Aku sedikit berjinjit saat melakukannya karena Harry itu sangat tinggi teman.
Harry diam saja saat aku merapikan kerahnya. Ia hanya menatapku datar.
Aku sudah biasa ditatap seperti itu olehnya. Jujur kadang aku dibuat bingung oleh Harry. Pada suatu waktu ia bisa jadi sangat bawel padaku. Namun di waktu lainnya, ia bisa sangat diam dan dingin. Aneh sekali kan?
"Naya, jangan lupa dasinya. Harry tidak bisa memakai dasi sendiri," Caroline melemparkan sebuah tali dasi yang senada dengan warna jasnya.
"Kau tidak bisa memakai dasi? Hahaha yang benar saja," aku tertawa geli melihat Harry menatap Caroline tajam. Sedangkan Caroline hanya memberi simbol peace dengan jarinya.
"Aku bisa memakai dasi, tapi tidak rapi." Sahutnya ketus. Sepertinya ia merajuk saat aku terus-terusan menertawainya.
"Sini biar aku pakaikan," aku mengalungkan dasi di leher Harry. Memasukannya ke dalam kerah kemeja lalu mulai membuat simpul pada dasinya.
Harry memperhatikan gerakan tanganku saat memakaikannya dasi. Aku terkekeh pelan melihat betapa seriusnya ia memperhatikanku. Detik selanjutnya ia mengalihkan pandangan padaku. Ia menatap tepat di manik mataku. Aku bisa melihat jelas betapa indahnya iris hijau terang milik Harry. Namun ada yang berbeda dari mata Harry kali ini. Matanya terlihat sedikit bengkak dan memerah seperti habis menangis. Ada apa dengannya?
1 detik.
2 detik.
3 detik."Apa kau sudah selesai memakaikanku dasi?" pertanyaan Harry membuatku kembali tersadar. Astaga, aku khilaf bertatap mata dengannya. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Ya Tuhan, bodohnya aku.
"Ya, sekali simpul lagi dan.. selesai" aku berkata sambil menahan gugup setengah mati. Sedangkan Harry tetap dengan tatapan datarnya. Tapi sebenarnya, aku sedikit penasaran kenapa mata Harry terlihat seperti habis menangis.
Setelah selesai dipakaikan dasi olehku, Harry segera menuju Lou Teasdale untuk ditata rambutnya.
"C'mon boys, 10 menit lagi kita mulai pemotretannya" salah satu kru mengingatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
what if...?
Fanfiction[Completed] -- "What if... I call you that you're a Draiocht?" "What is that Niall?" "In Irish we say Draiocht for a magic!!" "Am i a magic for you?" "Yeah, everything about you is magic, Naya. Do you agree Harry?" "Yeah, I do Niall. But, we have...